Thursday, August 25, 2011

Puasa dan Etos Kerja




Alhamdulillah, nggak kerasa puasa Ramadhan telah memasuki hari ke 26. Di hari-hari awal puasa kemarin anak-anak sempat ngobrolin ibadah puasa yang tetap masuk sekolah... koq rasanya lumayan berat??? Sebagai orang tua, saya pun mencoba menyemangati bahwa apabila kita menjalani kewajiban puasa ini dengan niat yang sungguh-sungguh dan semata-mata karena Allah SWT, Insya Allah akan tidak terasa berat menjalaninya.

Dari beberapa bacaan tentang perjuangan Rasulullah SAW, saya mencoba menjelaskan kepada anak-anak bahwa dulu pernah saat bulan Ramadhan Rasulullah SAW memimpin 313 kaum muslimin justru berhasil mengalahkan pasukan musyrikin Quarisy yang jumlahnya sekitar 950 orang, yang di dalam sejarah Islam dikenal dengan nama Perang Badar.

Nah di sini yang perlu diteladani adalah justru semangat juang dan etos kerjanya para pasukan muslim yang saat itu justru sedang menjalani ibadah puasa Ramadhan. Bayangkan, meski dalam kondisi yang berat yaitu harus berperang dan berjihad untuk menegakkan syiar Islam pasukan Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah SAW tetap menjalankan ibadah puasa.

Sudah seharusnya kita mencontoh dan meneladani peristiwa di atas sebagai pemacu semangat untuk menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan seperti layaknya hari-hari biasa, jadi ya tetap beraktifitas seperti layaknya kalau kita sedang tidak berpuasa. Kalau kita bandingkan dengan peristiwa Perang Badar, kegiatan kita bekerja dan bersekolah sehari-hari kan nggak ada apa-apanya. Kita sudah seharusnya tetap melestarikan dan menumbuhkan semangat juang dan etos kerja yang tinggi seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Hal inilah yang justru banyak diabaikan dan dilupakan oleh kaum muslimin saat ini. Ironisnya justru banyak para pihak yang justru malah mengurangi jam kerja di kantornya, serta mencari pembenaran terhadap kemerosotan produktifitas, bekerja sambil bermalas-malasan dengan mencari kambing hitam bahwa semua ini karena sedang menjani ibadah puasa. Fakta yang seperti ini kan jelas sangat bertolak belakang atau sangat kontradiksi dengan fakta parang Badar di atas.

Ingat, kalau dikarenakan kita menjalani ibadah puasa tubuh atau fisik kita jadi mudah letih dan lemas itu adalah konsekuensi yang wajar. Tetapi bila kita mencari pembenaran bahwa gara-gara puasa produktifitas kerja, semangat kerja dan etos kerja menjadi ‘menurun’, sepertinya hal ini yang seharusnya dibenahi.

Semoga kita semua bisa menjalani sisa beberapa hari puasa Ramdhan ini dengan sebaik-baiknya dan mampu meraih kemenangan yang hakiki untuk menjadi umat muslim yang lebih bertaqwa. Amin.






Friday, July 01, 2011

Kalau sudah duduk, lupa berdiri...




Masih ingat salah satu iklan furniture yang slogannya : ‘kalau sudah duduk, lupa berdiri’, kan? Nah slogan ini cocok banget untuk diterapkan kepada para pemimpin, pejabat, dan para politisi di Republik ini. Begitulah, saking enaknya mereka menikmati ‘nyamannya’ kekuasaan dengan segala previlege-nya. Sudah menjadi rahasia umum kalau mereka-mereka ini sejatinya memang kecanduan menikmati kekuasaan. Kata rakus dan serakah barangkali bahasa yang pas untuk dilekatkan pada mereka semua.

Lihat saja, bagaimana mereka dengan segala macam cara selalu berusaha untuk dapat melanggengkan kekuasaannya. Saat menjadi pemimpin, yang seharusnya memikirkan bagaimana mengurus dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, mereka malahan asyik memikirkan kesejahteraan diri sendiri dan kelompoknya sekaligus berupaya bagaimana caranya dapat berkuasa kembali untuk periode yang selanjutnya. Inilah gambaran umum yang menggejala di republik tercinta ini.

Kepingin bukti? Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana ada seorang mantan pemimpin negara yang kepingin lagi menjadi pemimpin bangsa ini, tapi gagal. Terus banyak pula yang tadinya menjadi wakil pemimpin, terus kepingin menjadi pemimpin. Malah di tingkat pemerintahan daerah ada pemimpin yang sudah menjabat dua periode, kemudian dengan berbagai macam cara akhirnya berhasil menjadikan istrinya pemimpin yang menggantikannya. Ada juga yang tadinya pemimpin dua periode, memilih untuk menjadi wakil pemimpin, lantas wakilnya yang jadi pimpinannya. Lha kalau terusan begini bolak-balik, berarti daerah itu pimpinannya ya orangnya sama terus, nggak akan pernah ganti kan?

Sudah menjadi kodrat manusia rupanya kalau selalu haus akan kekuasaan. Sejarah dan peradaban telah membuktikan bahwa bagaimanapun juga pada akhirnya para pemimpin itu selalu terjebak untuk kepingin melanggengkan kekuasaannya. Bangsa Indonesia rasanya belumlah lupa bagaimana sebelum era reformasi ada pemimpin yang mampu mencengkeramkan kekuasaannya hingga 32 tahun. Haruskah yang begini terulang lagi, lewat modus baru istri atau anaknya dan kelompoknya? Emangnya negara ini milik keluarganya atau kelompoknya saja?

Rasulullah SAW mengajarkan : “Berhentilah makan sebelum kenyang.” Kalau kita kaji lebih jauh dan mendalam, ajaran ini sangatlah penting dan seharusnya diberlakukan untuk banyak hal di dalam kehidupan sehari-hari kita. Pesan beliau ini sebenarnya sangat jelas sekali bahwa kita sebagai manusia itu harus memiliki kontrol kuat terhadap diri sendiri. Jangan sampai kita sebagai manusia, jatuh ke dalam sifat rakus, kecanduan, ketamakan. Sekaligus mengajarkan pula kepada kita untuk tahu kapan sebaiknya berhenti agar tidak sampai ‘kelebihan’ dalam segala hal. Karena yang namanya ‘kelebihan’ dan ‘berlebihan’ itu jelas kurang baik. Tidakkah para pemimpin, pejabat dan para politisi di negeri ini, yang mayoritas muslim, belajar dan mempraktekkan ajaran Rasulullah SAW yang mudah dan sederhana ini? Tentunya dengan harapan agar rakyat di Republik ini dapat hidup tentram, makmur dan sejahtera yang kita impikan bersama. Rasanya sia-sia belaka kalau berharap yang demikian ini.

Malahan yang terjadi adalah sebaliknya. Saking seringnya ‘diakali’ oleh para oknum pemimpin, pejabat dan para politisinya, negara ini akan sulit untuk terbebas dari gejala seperti yang telah terpapar di atas. Karena berbagai ‘blunder’ kekuasaan, carut marut hukum, keterpurukan ekonomi, hingar-bingar politik, budaya korupsi berjamaah, dan seabreg masalah lainnya memang sengaja dibiarkan begitu saja. Lho kok begitu? Ya iya lah, agar ada peluang-peluang baru yang bisa digarap melalui beragam rekayasa dan manuver politik cantik yang bakal menguntungkan kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan untuk melanggengkan kekuasaan.

Sunday, June 12, 2011

Sepenting apa sih 'status' di dunia maya?




The World ini your hand atau dunia dalam genggaman tangan, barangkali yang cocok untuk menggambarkan fenomena kemajuan di bidang teknologi informasi saat ini. Bayangkan dengan bermodal HP yang bisa terkoneksi ke internet atau dunia maya, kini begitu mudahnya kita mengakses segala kejadian di dunia ini dari genggaman tangan kita. Kalau para penggunanya memanfaatkan untuk hal-hal yang positif sih oke banget. Tapi fenomena yang marak saat ini sih ya untuk membangun jejaring sosial di dunia maya macam facebook-an dan twitter-an.

Akhir-akhir ini jejaring sosial dunia maya macam facebook dan twitter memang mampu menyedot jutaan pengguna. Pertumbuhannya begitu pesat dan luar biasa, hampir semua yang akrab berselancar di dunia maya bisa dipastikan juga memiliki account facebook & twitter. Kalau kita amati fungsi dari jejaring sosial tsb. bisa macam-macam.

Dulu ketika pertama kali ber-facebook-ria, saya begitu happy karena melalui mesin pencarinya bisa ketemu lagi dengan teman-teman lama sewaktu di SMA, teman kuliah, dan teman main sewaktu masih di komplek perumahan pabrik gula. Bahkan, melalui FB juga saya bisa ketemuan sama beberapa teman TK. Dan semuanya pada akhirnya bermuara dan berujung hingga kita ‘ketemuan’ atau copy darat untuk bereuni lalu bernostalgia bersama. Malahan, dari hasil ketemuan itu akhirnya, saya berhasil memiliki beberapa komunitas baru seperti : komunitas temen komplek tempat tinggal sewaktu masih kecil dulu, komunitas teman SMA, komunitas temen kuliah, dan komunitas teman main. Bukan main senangnya.

Nah, kalau manfaat yang seperti di atas, jelas jejaring sosial di dunia maya ini betul-betul terasa manfaatnya, karena mampu menyambung tali silaturahmi yang terputus selama puluhan tahun. Tapi pada kenyataannya, kalau kita amati lebih jauh, FB dan twitter seringkali juga digunakan untuk manfaat yang lain yang menurut saya kok nggak penting gitu loh...

Yang paling nge-trend dan ini hampir semuanya mengakui, FB & Twitter itu menjadi tempat di dunia maya buat ber-narsis-ria, memajang foto-foto, nggak peduli yang baca dan melihat belum tentu mengenalnya dengan baik, khususnya yang friend-listnya mencapai ribuan. Maklum saja, siapapun yang request untuk menjadi teman biasanya akan diapprove tanpa berpikir panjang. Yang penting kalau dilihat di FB-nya temannya ada seabreg. Yang mengherankan dari seabreg friend-list tadi jelas sebagian besar nggak dikenalnya secara pribadi. Bahkan mungkin juga nggak akan pernah ‘ketemuan’ atau copy darat. Lha terus buat apa ya?

Pernah juga saya menemukan FB & Twitter itu menjadi semacam buku harian si pemilik akunnya. Jadi hampir setiap jam statusnya di-update terus mengikuti kegiatannya. Apapun yang sedang dirasakan, dialami dan keluhkan langsung ditulis di statusnya tanpa disaring terlebih dahulu. Kalau pas sebel ya bahasanya yang keluar terbaca ketus dan marah, sebaliknya kalau pas lagi seneng isinya bisa yang ‘lebay’ banget. Tapi ya terserah saja sih. Kan memang bebas dan sesuka hati untuk ngisi status apa saja.

Selain itu, seringpula kita jumpai, FB dan Twitter ini dijadikan wadah curhat. Ya boleh-boleh saja. Dan biasanya yang menanggapi dan berkomentar pun juga banyak. Isinya juga bisa macem-macem. Ada yang sekadar berkomentar dan berempati, meskipun sebenarnya Cuma iseng saja. Ada juga yang sok peduli tapi peduli benar apa nggak kan nggak ketahuan, karena kan hanya melalui bahasa tulis. Berbeda kalau pedulinya diucapkan pas bertatap muka kan kelihatan benar-benar ketulusannya.

Ada juga yang asal isi status [absen] dari mereka-mereka yang nggak ada kerjaannya, namun takut kalau dianggap ‘nggak gaul’. Bisa jadi isi statusnya juga belum tentu penting untuk yang lain. Terkadang malah nggak berbobot sama sekali. Atau yang nggak pantas diungkapkan untuk diketahui banyak orang. Lha terus di mana dong privasinya? Anehnya, topik yang nggak penting pun ternyata juga banyak yang membalas dan menanggapinya dengan mengisi komentar. Kesimpulan sementara, kalau kita cuma sekadar ngisi status hanya buat mengumumkan kehadiran kita setiap hari di dunia maya [macam absen aja], akhirnya apa yang kita tulis ya cuma jadi ‘sampah’ dunia maya.

Dilihat dari jam menulis status, saya juga bisa menyimpulkan sementara, bahwa para pengguna facebook dan twitter ini nampaknya sering begadang hingga larut pagi. Karena seringkali saat mereka mengisi status ataupun mengomentari status temannya nampak waktu yang tertera ada di malam hari di saat jamnya orang sedang nyenyak tidur. Lha terus kapan istirahatnya ya? Apa mungkin setiap hari insomnia?

Dan gara-gara FB & twitter pula, siapapun orangnya sekarang nggak pernah lepas dari hp di tangannya. Bahkan dalam sebuah meeting penting pun mereka-mereka ini juga masih sempat mengomentari status temannya. Karena pernah suatu kali, saat saya dan tim mempresentasikan konsep iklan yang sedang kita garap, para client kita semuanya asyik sendiri-sendiri dengan Blackberry-nya. Akhirnya, banyak hal yang sudah kita jelaskan jadi harus diulang-ulang lagi, yang tentu saja membuang waktu dan bikin suasana meeting membosankan. Nah lho. Rupanya client saya lebih mementingkan mengupdate statusnya daripada membahas konsep iklan yang hendak kita buat. Emang sepenting apa sih ngisi status?

Buat saya pribadi, ada juga beberapa isi status yang masih oke untuk dibaca dan ada manfaatnya, misal : ajakan untuk sholat, ajakan untuk berzakat, ajakan untuk sholat tahajjud, atau tauziah sehari-hari yang bermanfaat untuk mengajak kita hidup lebih baik. Termasuk juga rangkaian kalimat yang bersifat untuk membangun motivasi dan mampu membangkitkan semangat seperti cuplikan atau saduran dari motivator macam Adrie Wongso, Mario Teguh, dll, ya pastinya masih oke lah. Kemudian yang cukup menghibur adalah kiriman video film-film iklan yang creative, kiriman lagu-lagu ‘ jadul’, it’s oke lah...

Sebaliknya, yang benar-benar nggak bermutu dan menyebalkan adalah yang content-nya seperti ajakan untuk bergabung main game, melihat horoskop kita, atau tawaran iklan gadget ataupun barang lainnya. Emangnya gue pikirin?

Tuesday, June 07, 2011

Belajar dari 'behind the scene' kehidupan...



Kalau orang film bilang, selain karya filmnya yang dilihat, ‘behind the scene’ justru yang menarik untuk menjadi bahan pelajaran, karena dapat diketahui kapan, apa dan bagaimana sebuah film itu diproduksi. Mulai dari susah payahnya, kehebohan selama proses produksi, tingkat kesulitannya sampai hal yang lucu-lucu dan menyenangkan.

Kalau saya pribadi yang selalu belajar dan belajar terus dari apapun yang saya lihat dan saya alami sehari-hari, atau istilah kerennya ‘belajar dari sekolah kehidupan’, selalu kepingin tahu mulai apa dan bagaimananya hingga apa yang tersirat dan apa yang tersurat. Sebagai praktisi periklanan memang kita selalu berusaha mendisiplinkan diri untuk selalu ‘kepingin tahu’ segala sesuatu yang ada di sekitar dalam kehidupan sehari-hari. Dari kebiasaan itulah hidup ini menjadi ‘kaya’ akan pelajaran tentang kehidupan yang begitu berharga dan tak ternilai.

Bagaimana dengan para peminat wisata kuliner? Yang akhir-akhir ini menjadi trend dan gaya hidup baru, pernahkah mencoba untuk memikirkan ‘behind the scene’ dari hidangan yang disantapnya? Paling gampang coba mulai pikirkan, darimana sih asal muasal bahan makanan yang ada di hadapan kita. Pernahkah memikirkan kesegaran, kelayakan, kehalalannya. Pastinya kita tak pernah mempedulikannya, alias percaya saja atau malahan pasrah.

Padahal kalau mau sedikit peduli banyak hal yang bisa kita pelajari dari makanan yang ada di meja makan tsb. Pastinya kalau kita kaji lebih jauh, ada cerita panjang di balik proses terhidangnya makanan tsb. Misal, apakah bahan makanan tsb. bebas pestisida? Apakah proses produksinya ramah lingkungan atau tidak? Mendukung kampanye mencegah Global Warming apa tidak? Alangkah bijaknya kalau kita mulai memilih makanan lokal yang berarti akan membawa dampak pemberdayaan ekonomi juga untuk para petani peternak lokal dibanding bila kita memilih makanan import. Dan masih banyak lagi.

Begitu pula terhadap kedua anak saya Adhika dan Wira, mereka juga saya ajari untuk selalu melihat ‘behind the scene’ segala masalah yang ada di sekitarnya. Yang unik, saat ada berita petinggi salah satu partai pemenang pemilu yang ‘terpaksa’ berobat ke Singapore, mereka juga mencoba untuk menggali lebih jauh apa kira-kira yang ada di balik kejadian itu.

Nah, kesimpulan dan pelajaran yang mereka dapat adalah bahwa sepertinya Indonesia tidak akan pernah bisa bebas dari ‘budaya korupsi’. Agama yang seharusnya bisa menjadi kontrol kehidupan sehari-hari hanya menjadi nampaknya hanya jatuh menjadi ritual belaka. Menurut mereka berdua, ternyata para koruptor itu tidak ada yang takut dengan Allah SWT. Lho koq? Lha iyalah, kan semua para koruptor itu kalau ditanya pasti bilangnya punya agama. Bahkan para koruptor yang beragama Islam juga kebanyakan juga sudah menunaikan ibadah haji. Republik tercinta ini meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi ternyata oknum koruptornya juga banyak. Nah lho.

Hasil dari membahas kasus MN yang juga bendahara partai di atas, saya akhirnya punya kesempatan untuk mengajak Adhika dan Wira untuk memperdalam ilmu agamanya, sekaligus menjalankannya dalam praktek kehidupan sehari-hari. Tentunya dengan harapan agar mereka kelak tidak terjebak seperti para petinggi negeri ini yang sebagian besar tidak mampu mengemban amanah rakyat yang telah memilihnya sebagai pemimpin. Kebijakannya selalu penuh kontradiksi, apa yang terucap dengan yang dipraktekkan dalam kehidupan bernegara seringkali tidak sinkron.

Ada pemeo bahwa orang bodoh itu justru yang selalu merasa dirinya pintar dan tahu segalanya, sehingga tidak pernah mau belajar dari pengalaman. Padahal kata orang bijak, pengalaman adalah guru terbaik dalam kehidupan kita. Sebaliknya, orang pandai itu justru selalu merasa dirinya tidak akan pernah tahu segalanya atau merasa dirinya bodoh sehingga selalu ingin belajar dan belajar.

Yang perlu disadari, proses belajar itu bukan berakhir saat kita selesai dengan Sekolah formal, tetapi justru simultan dan terus menerus sepanjang hidup kita. Belajar kapan saja, dari siapa saja, belajar dari apa saja, hingga nantinya ada proses transisi dari pengetahuan menjadi pemahaman. Harapannya tatkala menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari selalu memiliki segudang alternative solusi sebagai jalan keluarnya, tidak hanya berkutat dengan pemikiran bahwa hanya ada satu solusi untuk satu masalah.

Monday, June 06, 2011

Sukses, ‘jadi orang’, banyak uang...





Gara-gara jejaring sosial macam facebook dan twitter, yang ternyata mampu menyambungkan kembali tali silaturahim antar kawan lama, akhir-akhir ini banyak banget kegiatan ‘reunian’ yang mesti kita hadiri. Konsep ketemuannya sih oke banget, tapi rasanya kok ada juga beberapa teman yang menggunakannya untuk ajang ‘pamer kesuksesan’. Nah biasanya, berdasarkan pengalaman, kalau yang kebetulan yang ikutan ngumpul ‘merasa kurang sukses’, pada ketemuan berikutnya bisa dipastikan nggak bisa hadir drngan berbagai alasan.

Begitulah, pada salah satu ‘reunian’ ada teman saya Jody yang tiba-tiba nyeletuk,
“ Wuah sekarang si Indra sudah ‘jadi orang’ ya... sudah sukses... sudah kaya...”.
Dan akhirnya, pembicaraan memang jadi berbelok ke arah pencapaian sukses dari teman-teman yang lain. Yang begini ini yang kurang menarik dalam acara reunian. Bukannya ngomongin cerita yang dulu-dulu dan yang lucu-lucu biar kita semua bisa bernostalgia, eh kok malah jadi ngomongin harta kekayaan, punya ini, punya itu, dsb. Kalau kekayaan tsb. diperoleh dengan ‘berniaga’, punya bisnis atau usaha yang syariah, pastinya saya salut 1000%. Tapi kalau yang ngomongin kekayaan tsb. adalah mereka yang berkiprah sebagai pejabat pemerintah, maaf saja... temans, saya langsung kepingin muntah. Topik pembicaraan yang seperti inilah yang biasanya bikin saya males untuk ikutan nimbrung.

Padahal, konsep ‘jadi orang’ jaman para orang tua dulu tuh mengacu ke suatu pencapaian hidup yang mengandung makna sangat dalam, nggak hanya sekadar terjebak ke pencapaian kekayaan tertentu. Atau dengan kata lain, istilah ‘jadi orang’ atau ‘sukses’ itu tidak identik dengan ‘jadi orang kaya’. Misal, menjadi seorang staff pengajar di perguruan tinggi atau guru di sebuah SMA, dengan gaya hidup yang sederhana, pun boleh dibilang juga ‘jadi orang’ atau ‘sukses’.

Menurut aku, seseorang bisa dikatakan ‘sukses’ bila dalam hidupnya ia berusaha dan berjuang hingga akhirnya mampu meraih prestasi tertentu yang membanggakan. Dan mampu memanfaatkan semua kapasitas yang ada dalam dirinya untuk kebaikan orang lain dan masyarakat, tidak hanya sekadar untuk kepentingan diri pribadinya saja. Tingkat kepribadiannya berkembang menjadi lebih berkarakter dan lebih matang dalam menghadapi segala permasalahan di dalam kehidupannya.

Ironisnya, jaman sekarang ini, banyak orang beranggapan kalau ‘jadi orang’ atau ‘sukses’ itu identik dengan ‘jadi orang kaya’. Padahal betapa banyak saat ini, ‘orang jadi kaya’ yang hartanya diperoleh dengan cara yang tidak benar [alias korupsi], tidak melalui proses kerja keras dan berjuang di ‘jalan yang benar’. Mereka yang berada dalam kelompok ini biasanya memang memperoleh kekayaannya dengan cara gampang, sehingga tidak melalui proses berdialog dengan hati nuraninya. Juga tidak pernah ada proses pematangan di dalam kepribadiannya, baik melalui perenungan maupun kontemplasi pemikiran. Yang ada dalam pikirannya hanyalah spirit ‘jalan pintas’ dan keinginan untuk mendapatkan segalanya dengan instan, termasuk menghalalkan segala cara dan bahkan seringkali ada pihak lain yang dirugikan. Lha terus apakah yang seperti ini masih bisa dibilang ‘jadi orang’ atau ‘meraih sukses’???

Fenomena saat ini, memang begitu banyak orang yang tergila-gila pada uang. Mereka yang wara-wiri dengan mobil keren, memakai pakaian ‘branded’, hobi shopping ke luar negeri, pada kenyataannya memang diperlakukan dengan lebih terhormat dibanding dengan mereka yang tampil sederhana dan ‘biasa-biasa’ saja. Barangkali inilah yang membuat definisi tentang ‘jadi orang’ atau pun ‘sukses’ bergeser artinya. Saat ini, sukses = banyak uang. Konyolnya, semakin banyak uangnya semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhinya. Bahkan seringkali kita mendengar keluhan teman dan kolega kita bahwa mereka selalu merasa kekurangan uang terus, kebutuhan yang harus dipenuhi koq selalu nggak ada habisnya. Nah lho... jadi terjebak dan diperbudak oleh uang kan?

Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia hidup itu memang tidak bisa lepas dari uang. Semua orang butuh uang untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Semua orang memang kepingin punya rasa aman dengan punya tabungan, punya rumah, punya kendaraan yang mampu mendukung transportasinya, kepingin meningkatkan kualitas hidupnya, dsb. Tapi alangkah baiknya bila kita tidak terjebak ke arah semangat untuk ‘mendewakan uang’ alias uang menjadi prioritas utama dengan menisbikan begitu saja apa sejatinya makna hidup kita. Bahkan banyak yang melupakan bahwa sebenarnya untuk apa sih tujuan hidup kita ini? Apakah kebahagiaan hidup itu hanya bisa diraih dengan cara kita memiliki banyak uang?

Semoga sharing kali ini dapat menjadi bahan renungan... yang tentunya dengan harapan dapat memperkaya kualitas hidup kita semua.

Friday, May 27, 2011

Menguak makna kebahagiaan




Apa sih yang dimaksud dengan kebahagiaan?
Jawabannya akan bermacam-macam tergantung persepsi setiap orang tentang kebahagiaan itu sendiri. Saat jalan-jalan ke pulau Ayer di kawasan wisata kepulauan seribu, saya pernah ngobrol dengan seorang turis asal Amerika Serikat yang sudah berumur 60-an tahun. Nah si mister ini rupanya sedang menikmati masa pensiunnya dengan mengunjungi pelosok dunia. Asyik banget kan. Di masa tuanya masih diberi kesehatan dan dapat menikmati indahnya dunia. Bukan main.

Nah, saya pun coba menanyakan apakah ia bahagia dengan hidup yang dijalani selama ini. Ia pun menjawab bahwa di masa tuanya ini ia sangat bahagia karena hampir semua yang dimimpikannya sewaktu muda dulu hampir semuanya dapat terwujud. Dan yang mengherankan yang diceritakannya justru lebih ke masalah orang-orang yang dicintainya dan nostalgia saat bisa kumpul bareng bersama keluarganya. Jadi bukan seputar kebahagiaan saat ia menikmati jalan-jalan keliling dunia.

Lalu ia pun ganti bertanya: “Are you happy?”. Saat itu saya pun menjawab sekenanya, “Ya, I’m happy.” Si mister pun melanjutkan lagi pertanyaannya : “What’s really important in your life?” dan “Can you be happier?”. Pertanyaan berikutnya tsb. Yang akhirnya membuat saya tidak bisa menjawabnya lagi. Karena jelas memerlukan perenungan lebih lanjut tentang hidup yang sudah saya jalani selama ini. Nah, gara-gara ngobrol dengan ‘bule’ tsb. waktu refreshing di pulau Ayer saat itu, jadi terpakai untuk merenungkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas sekaligus introspeksi diri.

Dulu, saat mengawali pekerjaan sebagai reporter di grup media yang terkenal, saya berpikir sederhana banget bahwa saya akan tetap bisa mewujudkan idealisme saya yaitu : ‘jalan-jalan’ & berpetualang ke mana saja mengikuti tugas junalistik saat itu, hobi baca & menulis tersalurkan, ketemu dengan beragam manusia, nggak harus terjebak rutinitas kerja di belakang meja setiap hari, dan punya duit cukup untuk hidup layak di Jakarta ini. Dan saat itu benak saya dipenuhi pemikiran bahwa kebahagiaan akan datang mengalir sejalan dengan karier di dunia jurnalistik, punya rumah, punya mobil, jalan-jalan ke luar negeri untuk tugas liputan jurnalistik, dan segala bentuk manfaat lainnya. So simple things.

Apa yang ditanyakan oleh si Mister ‘Bule’ tsb. akhirnya memang secara perlahan tapi pasti merubah cara pandang saya akan makna kebahagiaan itu sendiri. Karena selama ini saya siap menjalani hidup tetapi tidak “hidup”. Melalui perenungan tsb. saya sadar banget bahwa ternyata arah hidup saya banyak dipenuhi dengan rencana-rencana yang berasal dari luar, tanpa dibarengi dengan pemahaman yang memadai akan diri sendiri . Begitu sibuk dengan action plan untuk hidup ke depan, tapi justru abai untuk menjalaninya. Boleh dibilang saya nggak merasa bahagia, karena pencapaian action plan yang telah saya susun justru tidak pernah sesuai dengan yang diharapkan. Dan yang lebih penting, karena plan tsb. saya adopsi dari luar diri pribadi, ekspektasi nya pun tidak pernah sejalan dengan suara hati.

Menurut para ahli, separuh dari otak kita berpikir dengan menggunakan logika, barulah sebagian lagi menggunakan emosi. Apalagi, background pendidikan yang pernah saya tekuni adalah filsafat yang memang selalu mengedepankan aspek logika berpikir yang kuat. Kecenderungannya seringkali logika mengatakan hal yang berlawanan dengan emosi. Kalau yang terjadi seperti ini, maka mulailah mencoba untuk mendengarkan apa yang dikatakan oleh suara hati. Begitulah, saat saya mencoba mengambil keputusan ataupun pilihan yang berdasarkan suara hati, kehidupan yang saya jalani jadi jauh lebih seru dan menarik.

Be yourself! Barangkali salah satu kata kunci dari kebahagiaan itu adalah apabila kita dapat melakukan apapun yang sesuai dengan keinginan ataupun suara hati kita. Marilah kita coba untuk berbuat ‘kebaikan’yang bermanfaat untuk kehidupan yang ada di sekitar, mulailah dari hal kecil yang kita bisa.

Lebih dari itu, kalau dikaji lebih jauh, kebanyakan rencana hidup yang kita jalankan selalu berkutat untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga saja. Nggak ada yang merencanakan sesuatu yang nantinya dapat bermanfaat untuk orang lain, apalagi untuk kemasahalatan orang banyak. Entahlah, akhir-akhir ini dorongan dari dalam diri selalu mengatakan agar sisa usia yang masih ada ini, alangkah bahagianya bila ‘hidup’ ini dapat bermanfaat untuk orang banyak.

Itulah sebabnya, saya selalu terobsesi untuk bisa memiliki usaha yang mampu mempekerjakan banyak orang. Saat bisnis rental eskavator saya masih berjaya, ada 25 orang yang nafkahnya terpenuhi dari situ, sayangnya usaha itu pada akhirnya harus terhenti gara-gara iklim dunia usaha yang tidak menentu. Makanya saat ini pun, semoga masih diijinkan oleh Allah SWT, saya selalu terus mencoba untuk dapat memiliki bisnis yang dapat membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Insya Allah, Amin.

Saya percaya bahwa pastinya akan selalu ada jalan menuju kebahagiaan yang hakiki bagi siapapun yang memilih untuk mendengarkan suara hatinya.

Friday, May 20, 2011

Waspadai makanan dan jajanan berbahaya




Teman saya Hendy hobi banget jajan es cincau setiap kali kita makan siang bersama. Emang enak sih. Saya pun juga beberapa kali mencobanya. Selain enak dan menyegarkan, konon kan cincau bisa mengobati panas dalam. Selain itu, es cincau kan minuman khas yang Indonesia banget.

Tapi itu dulu, tatkala belum menonton laporan investigasi tentang makanan berbahaya yang sering ditayangkan oleh TV swasta. Karena suatu kali laporan investigasi TV tsb. kebetulan menelusuri asal-muasal es cincau tsb. yang ternyata saat proses pembuatannya justru memakai bahan pengawet yang berbahaya bagi tubuh manusia. Bahkan biar terlihat kenyal dan menarik dicampur pula dengan bedak cap kodok. Es batunya pun juga berbahaya, karena dari air mentah [bahkan ada yang dari air kali]. Nah lho. Akhirnya, hobi teman saya Hendy pun sebagai penikmat es cincau berhenti setelah menonton tayangan tsb.

Memang setelah beberapa kali menonton TV tentang laporan investigasi terkait dengan jajanan dan makanan yang dijual sehari-hari di kota metropolitan ini, saya merasa ‘ngeri’ dibuatnya. Bayangkan, setiap makan siang kan, mau nggak mau, kita harus makan/jajan di luar. Tapi menurut laporan investigasi TV tsb. begitu banyak makanan yang dijual ternyata justru membahayakan kesehatan kita.

Meskipun sudah sering disidak dan diperingatkan, tetap saja masih banyak ditemukan makanan yang mengandung zat berbahaya dijual bebas di pasaran. Bukan cuma terdapat dalam bahan makanan basah seperti mi dan tahu, jajanan anak di sekolah juga tak luput dari ancaman bahan kimia berbahaya, salah satunya ya seperti cincau di atas.

Biasanya ada empat jenis bahan berbahaya yang sering disalahgunakan : yakni formalin, boraks, pewarna rhodamin B, dan methanyl yellow. Kenyataan yang sering diliput oleh laporan investigasi tsb. jelas semakin menambah panjang daftar makanan berbahaya yang beredar dengan mudahnya di sekitar kita sejak dulu. Sebut saja formalin sebagai pengawet dalam bakso, mie kuning dan tahu. Selain itu pernah juga ditayangkan daging bakso yang asalnya dari daging tikus sawah serta penggunaan pemutih bagi pembuatan bakso. Ayam tiren [mati kemarin] atau bangkai yang diolah lagi menjadi ‘fried chicken’ pinggir jalan. Ikan busuk yang diolah lagi menjadi siomay ataupun otak-otak. Dan masih banyak lagi.

Pastinya bahan makanan berbahaya di atas akan berdampak buruk bagi kesehatan. Begitu pula berbagai macam bahan tambahan seperti pemanis buatan, pengawet, pemutih, dan pewarna tekstil dapat menyebabkan diare, pusing-pusing, muntah. Kalau dikonsumsi secara terus menerus, berbagai bahan berbahaya itu akan meracuni liver, selain itu juga turut menabung karsinogen dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit kanker, khususnya kanker usus dan saluran kemih.

Menurut laporan investigasi TV tsb. ‘kenakalan’ para penjual makanan dengan bahan berbahaya ini semata-mata hanyalah untuk mencari keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Jadi hanya karena motif ekonomi mereka tega untuk ‘meracuni’ konsumennya yang notabene adalah fihak yang menjadikan tebal dompet mereka. Luar biasa, tidak ada lagi pertimbangan etika, moral, agama dan nurani. Demi fulus apapun dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Sudah sedemikian ‘jahat’ dan rusakkah moral mereka? Silakan disimpulkan sendiri.

Bagaimana dengan peran pemerintah? Walaupun kerap dipaparkan oleh laporan investigasi TV, nampaknya pemerintah ‘tenang-tenang’ saja. Lagi-lagi terjadi ‘pembiaran’. Di era perokonomian bebas ini, masyarakat memang dilepas bebas baik sebagai produsen maupun konsumen yang harus mengurus dirinya sendiri. Paling-paling, sekali-sekali menjelang bulan puasa dan Idul Fitri saja mereka melakukan sidak dan pengawasan terhadap produk makanan. Itu pun biasanya hanya dilakukan secara acak.

Saran saya, tatkala kita hendak menyantap makanan, jajanan, ataupun wisata kuliner alangkah baiknya bila mulai mengkritisi dan menelusuri : siapa, darimana, apa, bagaimana makanan tersebut dihasilkan. Ingat jangan asal embat dan tanpa pernah berfikir terlalu jauh. Jangan hanya mempertanyakan masalah halal-haram atau higienis apa tidaknya, tapi cobalah untuk lebih kritis dengan apa yang hendak kita santap. Sebagai konsumen, kita harus lebih selektif untuk memilih. Kalau mau main aman, barangkali ada baiknya juga bila kita membatasi kebiasaan jajan atau makan di tempat yang sembarangan. Pilihlah makanan atau jajan di tempat yang lebih layak dan terpercaya.