blog ini hanyalah wadah 'curhat' & sharing seorang endro wm sayidno berkaitan dengan Madiun, Surabaya, Jatim, kewirausahaan, pengembangan diri, hobi, koleksi, keluarga, perkawanan, pendidikan, pekerjaan, peluang usaha, trend masa kini, dsb.
Sunday, June 12, 2011
Sepenting apa sih 'status' di dunia maya?
The World ini your hand atau dunia dalam genggaman tangan, barangkali yang cocok untuk menggambarkan fenomena kemajuan di bidang teknologi informasi saat ini. Bayangkan dengan bermodal HP yang bisa terkoneksi ke internet atau dunia maya, kini begitu mudahnya kita mengakses segala kejadian di dunia ini dari genggaman tangan kita. Kalau para penggunanya memanfaatkan untuk hal-hal yang positif sih oke banget. Tapi fenomena yang marak saat ini sih ya untuk membangun jejaring sosial di dunia maya macam facebook-an dan twitter-an.
Akhir-akhir ini jejaring sosial dunia maya macam facebook dan twitter memang mampu menyedot jutaan pengguna. Pertumbuhannya begitu pesat dan luar biasa, hampir semua yang akrab berselancar di dunia maya bisa dipastikan juga memiliki account facebook & twitter. Kalau kita amati fungsi dari jejaring sosial tsb. bisa macam-macam.
Dulu ketika pertama kali ber-facebook-ria, saya begitu happy karena melalui mesin pencarinya bisa ketemu lagi dengan teman-teman lama sewaktu di SMA, teman kuliah, dan teman main sewaktu masih di komplek perumahan pabrik gula. Bahkan, melalui FB juga saya bisa ketemuan sama beberapa teman TK. Dan semuanya pada akhirnya bermuara dan berujung hingga kita ‘ketemuan’ atau copy darat untuk bereuni lalu bernostalgia bersama. Malahan, dari hasil ketemuan itu akhirnya, saya berhasil memiliki beberapa komunitas baru seperti : komunitas temen komplek tempat tinggal sewaktu masih kecil dulu, komunitas teman SMA, komunitas temen kuliah, dan komunitas teman main. Bukan main senangnya.
Nah, kalau manfaat yang seperti di atas, jelas jejaring sosial di dunia maya ini betul-betul terasa manfaatnya, karena mampu menyambung tali silaturahmi yang terputus selama puluhan tahun. Tapi pada kenyataannya, kalau kita amati lebih jauh, FB dan twitter seringkali juga digunakan untuk manfaat yang lain yang menurut saya kok nggak penting gitu loh...
Yang paling nge-trend dan ini hampir semuanya mengakui, FB & Twitter itu menjadi tempat di dunia maya buat ber-narsis-ria, memajang foto-foto, nggak peduli yang baca dan melihat belum tentu mengenalnya dengan baik, khususnya yang friend-listnya mencapai ribuan. Maklum saja, siapapun yang request untuk menjadi teman biasanya akan diapprove tanpa berpikir panjang. Yang penting kalau dilihat di FB-nya temannya ada seabreg. Yang mengherankan dari seabreg friend-list tadi jelas sebagian besar nggak dikenalnya secara pribadi. Bahkan mungkin juga nggak akan pernah ‘ketemuan’ atau copy darat. Lha terus buat apa ya?
Pernah juga saya menemukan FB & Twitter itu menjadi semacam buku harian si pemilik akunnya. Jadi hampir setiap jam statusnya di-update terus mengikuti kegiatannya. Apapun yang sedang dirasakan, dialami dan keluhkan langsung ditulis di statusnya tanpa disaring terlebih dahulu. Kalau pas sebel ya bahasanya yang keluar terbaca ketus dan marah, sebaliknya kalau pas lagi seneng isinya bisa yang ‘lebay’ banget. Tapi ya terserah saja sih. Kan memang bebas dan sesuka hati untuk ngisi status apa saja.
Selain itu, seringpula kita jumpai, FB dan Twitter ini dijadikan wadah curhat. Ya boleh-boleh saja. Dan biasanya yang menanggapi dan berkomentar pun juga banyak. Isinya juga bisa macem-macem. Ada yang sekadar berkomentar dan berempati, meskipun sebenarnya Cuma iseng saja. Ada juga yang sok peduli tapi peduli benar apa nggak kan nggak ketahuan, karena kan hanya melalui bahasa tulis. Berbeda kalau pedulinya diucapkan pas bertatap muka kan kelihatan benar-benar ketulusannya.
Ada juga yang asal isi status [absen] dari mereka-mereka yang nggak ada kerjaannya, namun takut kalau dianggap ‘nggak gaul’. Bisa jadi isi statusnya juga belum tentu penting untuk yang lain. Terkadang malah nggak berbobot sama sekali. Atau yang nggak pantas diungkapkan untuk diketahui banyak orang. Lha terus di mana dong privasinya? Anehnya, topik yang nggak penting pun ternyata juga banyak yang membalas dan menanggapinya dengan mengisi komentar. Kesimpulan sementara, kalau kita cuma sekadar ngisi status hanya buat mengumumkan kehadiran kita setiap hari di dunia maya [macam absen aja], akhirnya apa yang kita tulis ya cuma jadi ‘sampah’ dunia maya.
Dilihat dari jam menulis status, saya juga bisa menyimpulkan sementara, bahwa para pengguna facebook dan twitter ini nampaknya sering begadang hingga larut pagi. Karena seringkali saat mereka mengisi status ataupun mengomentari status temannya nampak waktu yang tertera ada di malam hari di saat jamnya orang sedang nyenyak tidur. Lha terus kapan istirahatnya ya? Apa mungkin setiap hari insomnia?
Dan gara-gara FB & twitter pula, siapapun orangnya sekarang nggak pernah lepas dari hp di tangannya. Bahkan dalam sebuah meeting penting pun mereka-mereka ini juga masih sempat mengomentari status temannya. Karena pernah suatu kali, saat saya dan tim mempresentasikan konsep iklan yang sedang kita garap, para client kita semuanya asyik sendiri-sendiri dengan Blackberry-nya. Akhirnya, banyak hal yang sudah kita jelaskan jadi harus diulang-ulang lagi, yang tentu saja membuang waktu dan bikin suasana meeting membosankan. Nah lho. Rupanya client saya lebih mementingkan mengupdate statusnya daripada membahas konsep iklan yang hendak kita buat. Emang sepenting apa sih ngisi status?
Buat saya pribadi, ada juga beberapa isi status yang masih oke untuk dibaca dan ada manfaatnya, misal : ajakan untuk sholat, ajakan untuk berzakat, ajakan untuk sholat tahajjud, atau tauziah sehari-hari yang bermanfaat untuk mengajak kita hidup lebih baik. Termasuk juga rangkaian kalimat yang bersifat untuk membangun motivasi dan mampu membangkitkan semangat seperti cuplikan atau saduran dari motivator macam Adrie Wongso, Mario Teguh, dll, ya pastinya masih oke lah. Kemudian yang cukup menghibur adalah kiriman video film-film iklan yang creative, kiriman lagu-lagu ‘ jadul’, it’s oke lah...
Sebaliknya, yang benar-benar nggak bermutu dan menyebalkan adalah yang content-nya seperti ajakan untuk bergabung main game, melihat horoskop kita, atau tawaran iklan gadget ataupun barang lainnya. Emangnya gue pikirin?
Tuesday, June 07, 2011
Belajar dari 'behind the scene' kehidupan...
Kalau orang film bilang, selain karya filmnya yang dilihat, ‘behind the scene’ justru yang menarik untuk menjadi bahan pelajaran, karena dapat diketahui kapan, apa dan bagaimana sebuah film itu diproduksi. Mulai dari susah payahnya, kehebohan selama proses produksi, tingkat kesulitannya sampai hal yang lucu-lucu dan menyenangkan.
Kalau saya pribadi yang selalu belajar dan belajar terus dari apapun yang saya lihat dan saya alami sehari-hari, atau istilah kerennya ‘belajar dari sekolah kehidupan’, selalu kepingin tahu mulai apa dan bagaimananya hingga apa yang tersirat dan apa yang tersurat. Sebagai praktisi periklanan memang kita selalu berusaha mendisiplinkan diri untuk selalu ‘kepingin tahu’ segala sesuatu yang ada di sekitar dalam kehidupan sehari-hari. Dari kebiasaan itulah hidup ini menjadi ‘kaya’ akan pelajaran tentang kehidupan yang begitu berharga dan tak ternilai.
Bagaimana dengan para peminat wisata kuliner? Yang akhir-akhir ini menjadi trend dan gaya hidup baru, pernahkah mencoba untuk memikirkan ‘behind the scene’ dari hidangan yang disantapnya? Paling gampang coba mulai pikirkan, darimana sih asal muasal bahan makanan yang ada di hadapan kita. Pernahkah memikirkan kesegaran, kelayakan, kehalalannya. Pastinya kita tak pernah mempedulikannya, alias percaya saja atau malahan pasrah.
Padahal kalau mau sedikit peduli banyak hal yang bisa kita pelajari dari makanan yang ada di meja makan tsb. Pastinya kalau kita kaji lebih jauh, ada cerita panjang di balik proses terhidangnya makanan tsb. Misal, apakah bahan makanan tsb. bebas pestisida? Apakah proses produksinya ramah lingkungan atau tidak? Mendukung kampanye mencegah Global Warming apa tidak? Alangkah bijaknya kalau kita mulai memilih makanan lokal yang berarti akan membawa dampak pemberdayaan ekonomi juga untuk para petani peternak lokal dibanding bila kita memilih makanan import. Dan masih banyak lagi.
Begitu pula terhadap kedua anak saya Adhika dan Wira, mereka juga saya ajari untuk selalu melihat ‘behind the scene’ segala masalah yang ada di sekitarnya. Yang unik, saat ada berita petinggi salah satu partai pemenang pemilu yang ‘terpaksa’ berobat ke Singapore, mereka juga mencoba untuk menggali lebih jauh apa kira-kira yang ada di balik kejadian itu.
Nah, kesimpulan dan pelajaran yang mereka dapat adalah bahwa sepertinya Indonesia tidak akan pernah bisa bebas dari ‘budaya korupsi’. Agama yang seharusnya bisa menjadi kontrol kehidupan sehari-hari hanya menjadi nampaknya hanya jatuh menjadi ritual belaka. Menurut mereka berdua, ternyata para koruptor itu tidak ada yang takut dengan Allah SWT. Lho koq? Lha iyalah, kan semua para koruptor itu kalau ditanya pasti bilangnya punya agama. Bahkan para koruptor yang beragama Islam juga kebanyakan juga sudah menunaikan ibadah haji. Republik tercinta ini meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi ternyata oknum koruptornya juga banyak. Nah lho.
Hasil dari membahas kasus MN yang juga bendahara partai di atas, saya akhirnya punya kesempatan untuk mengajak Adhika dan Wira untuk memperdalam ilmu agamanya, sekaligus menjalankannya dalam praktek kehidupan sehari-hari. Tentunya dengan harapan agar mereka kelak tidak terjebak seperti para petinggi negeri ini yang sebagian besar tidak mampu mengemban amanah rakyat yang telah memilihnya sebagai pemimpin. Kebijakannya selalu penuh kontradiksi, apa yang terucap dengan yang dipraktekkan dalam kehidupan bernegara seringkali tidak sinkron.
Ada pemeo bahwa orang bodoh itu justru yang selalu merasa dirinya pintar dan tahu segalanya, sehingga tidak pernah mau belajar dari pengalaman. Padahal kata orang bijak, pengalaman adalah guru terbaik dalam kehidupan kita. Sebaliknya, orang pandai itu justru selalu merasa dirinya tidak akan pernah tahu segalanya atau merasa dirinya bodoh sehingga selalu ingin belajar dan belajar.
Yang perlu disadari, proses belajar itu bukan berakhir saat kita selesai dengan Sekolah formal, tetapi justru simultan dan terus menerus sepanjang hidup kita. Belajar kapan saja, dari siapa saja, belajar dari apa saja, hingga nantinya ada proses transisi dari pengetahuan menjadi pemahaman. Harapannya tatkala menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari selalu memiliki segudang alternative solusi sebagai jalan keluarnya, tidak hanya berkutat dengan pemikiran bahwa hanya ada satu solusi untuk satu masalah.
Monday, June 06, 2011
Sukses, ‘jadi orang’, banyak uang...
Gara-gara jejaring sosial macam facebook dan twitter, yang ternyata mampu menyambungkan kembali tali silaturahim antar kawan lama, akhir-akhir ini banyak banget kegiatan ‘reunian’ yang mesti kita hadiri. Konsep ketemuannya sih oke banget, tapi rasanya kok ada juga beberapa teman yang menggunakannya untuk ajang ‘pamer kesuksesan’. Nah biasanya, berdasarkan pengalaman, kalau yang kebetulan yang ikutan ngumpul ‘merasa kurang sukses’, pada ketemuan berikutnya bisa dipastikan nggak bisa hadir drngan berbagai alasan.
Begitulah, pada salah satu ‘reunian’ ada teman saya Jody yang tiba-tiba nyeletuk,
“ Wuah sekarang si Indra sudah ‘jadi orang’ ya... sudah sukses... sudah kaya...”.
Dan akhirnya, pembicaraan memang jadi berbelok ke arah pencapaian sukses dari teman-teman yang lain. Yang begini ini yang kurang menarik dalam acara reunian. Bukannya ngomongin cerita yang dulu-dulu dan yang lucu-lucu biar kita semua bisa bernostalgia, eh kok malah jadi ngomongin harta kekayaan, punya ini, punya itu, dsb. Kalau kekayaan tsb. diperoleh dengan ‘berniaga’, punya bisnis atau usaha yang syariah, pastinya saya salut 1000%. Tapi kalau yang ngomongin kekayaan tsb. adalah mereka yang berkiprah sebagai pejabat pemerintah, maaf saja... temans, saya langsung kepingin muntah. Topik pembicaraan yang seperti inilah yang biasanya bikin saya males untuk ikutan nimbrung.
Padahal, konsep ‘jadi orang’ jaman para orang tua dulu tuh mengacu ke suatu pencapaian hidup yang mengandung makna sangat dalam, nggak hanya sekadar terjebak ke pencapaian kekayaan tertentu. Atau dengan kata lain, istilah ‘jadi orang’ atau ‘sukses’ itu tidak identik dengan ‘jadi orang kaya’. Misal, menjadi seorang staff pengajar di perguruan tinggi atau guru di sebuah SMA, dengan gaya hidup yang sederhana, pun boleh dibilang juga ‘jadi orang’ atau ‘sukses’.
Menurut aku, seseorang bisa dikatakan ‘sukses’ bila dalam hidupnya ia berusaha dan berjuang hingga akhirnya mampu meraih prestasi tertentu yang membanggakan. Dan mampu memanfaatkan semua kapasitas yang ada dalam dirinya untuk kebaikan orang lain dan masyarakat, tidak hanya sekadar untuk kepentingan diri pribadinya saja. Tingkat kepribadiannya berkembang menjadi lebih berkarakter dan lebih matang dalam menghadapi segala permasalahan di dalam kehidupannya.
Ironisnya, jaman sekarang ini, banyak orang beranggapan kalau ‘jadi orang’ atau ‘sukses’ itu identik dengan ‘jadi orang kaya’. Padahal betapa banyak saat ini, ‘orang jadi kaya’ yang hartanya diperoleh dengan cara yang tidak benar [alias korupsi], tidak melalui proses kerja keras dan berjuang di ‘jalan yang benar’. Mereka yang berada dalam kelompok ini biasanya memang memperoleh kekayaannya dengan cara gampang, sehingga tidak melalui proses berdialog dengan hati nuraninya. Juga tidak pernah ada proses pematangan di dalam kepribadiannya, baik melalui perenungan maupun kontemplasi pemikiran. Yang ada dalam pikirannya hanyalah spirit ‘jalan pintas’ dan keinginan untuk mendapatkan segalanya dengan instan, termasuk menghalalkan segala cara dan bahkan seringkali ada pihak lain yang dirugikan. Lha terus apakah yang seperti ini masih bisa dibilang ‘jadi orang’ atau ‘meraih sukses’???
Fenomena saat ini, memang begitu banyak orang yang tergila-gila pada uang. Mereka yang wara-wiri dengan mobil keren, memakai pakaian ‘branded’, hobi shopping ke luar negeri, pada kenyataannya memang diperlakukan dengan lebih terhormat dibanding dengan mereka yang tampil sederhana dan ‘biasa-biasa’ saja. Barangkali inilah yang membuat definisi tentang ‘jadi orang’ atau pun ‘sukses’ bergeser artinya. Saat ini, sukses = banyak uang. Konyolnya, semakin banyak uangnya semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhinya. Bahkan seringkali kita mendengar keluhan teman dan kolega kita bahwa mereka selalu merasa kekurangan uang terus, kebutuhan yang harus dipenuhi koq selalu nggak ada habisnya. Nah lho... jadi terjebak dan diperbudak oleh uang kan?
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia hidup itu memang tidak bisa lepas dari uang. Semua orang butuh uang untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Semua orang memang kepingin punya rasa aman dengan punya tabungan, punya rumah, punya kendaraan yang mampu mendukung transportasinya, kepingin meningkatkan kualitas hidupnya, dsb. Tapi alangkah baiknya bila kita tidak terjebak ke arah semangat untuk ‘mendewakan uang’ alias uang menjadi prioritas utama dengan menisbikan begitu saja apa sejatinya makna hidup kita. Bahkan banyak yang melupakan bahwa sebenarnya untuk apa sih tujuan hidup kita ini? Apakah kebahagiaan hidup itu hanya bisa diraih dengan cara kita memiliki banyak uang?
Semoga sharing kali ini dapat menjadi bahan renungan... yang tentunya dengan harapan dapat memperkaya kualitas hidup kita semua.
Subscribe to:
Posts (Atom)