Wednesday, February 23, 2011

'Jaka Sembung Bawa Golok'

Pernah denger joke ini nggak? ‘Jaka sembung bawa golok, kagak nyambung goblok!’ Biasanya dipakai untuk meledek mereka-mereka yang komunikasinya tidak ketemu alias ‘ngaco’ dan ‘nggak nyambung’. Jujur saja, meskipun biz saya bergelut di bidang komunikasi [marketing & communication alias praktisi periklanan] tapi nggak luput juga dari urusan miss-communication & miss-understanding.

Waktu itu kita dipercaya client untuk menggarap iklan tv salah satu obat sakit kepala yang modelnya adalah seorang dalang kondang yang tinggalnya di Karang Anyar, Surakarta. Pas lagi nyari-nyari ide, akhirnya saya dan teman sepakat untuk menemui beliau di Solo untuk sekaligus menggali pengetahuan tentang perwayang-kulitan, perdalangan, apa yang nggak boleh dan apa yang boleh untuk di-explore menjadi sebuah karya iklan TV. Tiket Garuda pun sudah disiapkan oleh Sekretaris untuk keberangkatan pesawat besok pagi pk. 06.20. Saya dan teman pun janjian untuk ketemuan langsung di bandara di tempat biasa kalau kita biasanya mau ke Singapore.

Besoknya pk. 5.00, setelah memarkir mobil di tempat parkir yang khusus untuk menginap, saya nongkrong di kafe yang biasa kita jadikan tempat ngumpul kalau pergi rame-rame sama temen-temen. Pk. 05.30, temen pun datang. Setelah ngobrol santai sambil minum kopi, akhirnya sepakat untuk ‘boarding’. Pas memasuki tempat boarding dan berada di depan counter Garuda, barulah kita sadar dan ‘ngeh’, kalau kita ternyata berada di tempat yang salah, yaitu terminal keberangkatan untuk ke Luar Negeri. Padahal, seharusnya kita ke terminal untuk penerbangan domestic. Pokoknya, bener-bener ‘Jaka sembung bawa golok’ . Akhirnya, sambil panic dan rasa was-was ditinggal pesawat karena waktunya sudah mepet, kita berdua pun berlari menuju ke terminal untuk keberangkatan domestic, yang jaraknya lumayan jauh.

Apa yang kita takutkan pun terjadi. Sampai di terminal yang benar ternyata boarding untuk flight kita telah ditutup dan pesawat sudah berangkat ke Solo. Akhirnya, kita langsung beli tiket baru untuk penerbangan ke Semarang yang sejam lagi take off. Nggak mau ketinggalan pesawat untuk kedua kalinya, kita pun langsung boarding dan masuk ke dalam. Rencananya, dari Semarang nantinya mau nyambung naik taxi ke Solo. Begitulah yang terjadi, gara-gara ketinggalan pesawat, jadinya malah kelamaan jalan darat dari Semarang ke Solo daripada Jakarta ke Semarang.

Pk. 13.00, kita check in di Novotel Solo. Kepinginnya sih langsung ketemu Ki dalang kodang tsb., tapi ternyata beliaunya masih tidur karena tadi malam habis ‘ndalang’ [dalang kalau malam kerja siangnya tidur]. Diperkirakan habis sholat Isya kita baru bisa ketemuan. Beginilah nasib praktisi periklanan, sudah berangkat terburu-buru ternyata masih juga belum bisa ketemu. Daripada nggak ngapa-ngapain, kita pun keliling Solo sambil nyari ide kreatif iklan yang hendak kita garap dan sekaligus nyari-nyari lokasi yang bagus buat nanti kalau jadi shooting di Solo atau di Tawangmangu.

Sambil wisata kuliner, akhirnya kita dapat ide untuk pakai dalang bule yang manggung bareng ki dalang kondang tsb. Jadi ceritanya seolah-olah ada transfer teknologi perdalangan dari ki dalang tokoh kita ke dalang bule, tentunya dikaitkan juga dengan benefit obat sakit kepala yang selama ini dibintangi ki dalang kondang tsb.

Malemnya, sehabis makan nasi liwet khas Solo, kita langsung meluncur ke rumah Ki dalang kondang tsb. yang adanya di tengah-tengah Karang Anyar arah Tawangmangu. Di rumah beliau, kita pun ‘dipaksa’ makan lagi karena sudah disiapkan berbagai masakan khas Jawa Tengah kreasi ibu tuan rumah [makan lagi, makan lagi terus kapan kerjanya ya?]. Selesai makan langsung lah kita utarakan maksud kedatangan ke Solo saat itu.

Mulailah kita berdua bergantian menanyakan hal penting yang berkaitan dengan pakem perwayang-kulitan, apa yang boleh dan apa yang gak boleh. Sampailah ke konsep/ide kita untuk memakai dalang bule, sekaligus apakah beliau punya murid atau rekan bule yang bisa mendalang. Ki dalang tokoh kita pun dengan mantepnya bilang kalau every things is okay, prinsipnya nggak ada masalah, dalang bulenya juga ada dan siap kapan aja kalau mau diajak shooting iklan obat sakit kepala tsb. Tapi sebentar pak, kita berdua harus ketemu langsung dulu sekalian mau kita casting dulu [apakah wajahnya oke, apakah bisa acting, dll.]. Akhirnya, beliau berjanji untuk mendatangkan dalang bule tsb. Ke Novotel besok pagi pk. 10.00-an, dan silakan ngobrol sampai puas, katanya.

Malam itu kita ngobrol sampai pk. 1.00 pagi. Anehnya, kita berdua ‘klenger’ dan ngantuk berat, sebaliknya pak dalang tokoh kita ini justru suaranya makin keras dan lantang. Maklum beliau kan dalang yang memang ‘hidupnya’ malam sampai pagi. Sambil sedikit sungkan, karena memutus obrolannya yang makin semangat, akhirnya kita berdua pamit untuk pulang ke Novotel, yang jaraknya 15 km dari situ.

Pk. 10.00 sehabis sarapan, kita kedatangan tamu yang telah menunggu di Lobby hotel. Sambil menenteng kamera untuk casting aku dan teman bergegas menemuinya. Pas sampai di tempat tamu menunggu dan melihat tamunya, aku dan teman pun saling lihat-lihatan seolah tak percaya dengan yang ada di depan mata sambil menahan ketawa. Pasalnya, tamu yang ‘dikirim’ ki dalang kondang tsb. sebagai dalang bule itu ternyata adalah orang Jawa tapi yang kulitnya albino. Nah lho. Lagi-lagi ‘jaka sembung bawa golok’. Apa yang kita maksud dalang bule [orang asing] ternyata ditangkap oleh Ki dalang sebagai dalang albino [baru sadar kalau untuk orang jawa kata bule itu merujuk untuk orang yang kulitnya albino, apalagi orang Solo Kiai Slamet aja disebut sebagai Kerbau bule, wkwkwk…]. Berhubung tidak mau mengecewakan tamu, akhirnya kita ngobrol sampai kurang lebih satu jam. Sepulangnya dalang bule tsb. Kita pun berdua tertawa sepuasnya.

Pelajaran yang bisa dipetik, ternyata membangun komunikasi itu nggak gampang, sebuah kata yang sama ternyata diartikan berbeda oleh orang lain. Daripada stress ngurusin dalang bule, kita berdua pun ke pasar Triwindu untuk mencari ‘barang antik’, sambil menunggu kiriman ‘dalang bule’ beneran dari ki dalang kondang tokoh kita. Walaupun nantinya, meskipun kita sudah bersusah payah ke Solo segala, ternyata ide ini nggak jadi kita eksekusi dan diganti dengan ide lain yang lebih ‘ngocol’. Beginilah kerjanya praktisi periklanan untuk bikin iklan yang ‘get attention’ harus ‘jungkir balik’ terlebih dahulu. Tapi yang penting enjoy terus dan tetap semangat!.

Saturday, February 19, 2011

Behind the 'scene' of Alumni PG. Soedhono gathering...



Nggak nyangka… ibarat main bola, acara ngumpul bareng Alumni PG Soedhono -- yang awalnya hanya ‘umpan-umpan’ komentar di facebook yang kemudian ditindaklanjuti Handaru Subekti bin Soedjiamto dengan ‘umpan terobosan’ berupa undangan melalui facebook Alumni PG Soedhono dan ‘digiring’ & ‘digocek’ dengan serius oleh Rahmawan bin Doeri, Tuti binti Djoko Pangestu, dan Widjaja bin Soeratno dkk. sebagai ‘tuan rumah’ jadilah sebuah ‘gol indah’. Ide liar untuk bikin acara ngumpul bareng benar-benar menjadi kenyataan.

13 Februari 2011, Soos PG Soedhono menjadi saksi , betapa 30-an lebih teman-teman yang pernah dibesarkan di lingkungan PG Soedhono dari berbagai penjuru [Jakarta, Yogya, Semarang, Solo, Ngawi, Madiun, Surabaya] bisa berkumpul bersama, bersilaturahim, melepas kerinduan akan masa lalu.

Cuaca cerah pagi itu dengan suhu udara yang tidak begitu panas terasa menambah semangat dan keceriaan tatkala memasuki gerbang PG Soedhono. Memasuki areal komplek menuju Soos nampak bis sekolah Toyota ‘jadul’ berwarna biru diparkir di belakang pos hansip seolah menyambut siapapun yang datang ke acara ngumpul bareng Alumni PG Soedhono. Pemandangan dan suasana komplek yang nyaris tak berubah jelas langsung mengusik ingatan dan mengurai berbagai kenangan puluhan tahun lalu yang lama mengendap di alam bawah sadar kita semua.

Di pintu Soos [yang masih seperti dulu] kedatangan kita disambut oleh Widjaja bin Soeratno & Dodi dan teman-teman panitia lokal lainnya [maaf yo, aku nggak hafal nama2nya… maklum wis tuwo memorine cekak] yang memang masih tinggal di areal komplek PG Soedhono. Teman-teman yang menjadi tuan rumah ini wajib kita acungi 2 jempol atas kesediaannya untuk ‘mau direpoti’ baik tenaga, materi maupun pikirannya. Matur suwun yo friends… Gusti Allah SWT mengko sing mbales. Amin.
Sambutan teman-teman tuan rumah PG Soedhono terasa sangat kental ber nuansa penuh keakraban dan kekeluargaan. Begitulah, akhirnya rombongan demi rombongan yang berdatangan dan masuk ke dalam Soos langsung masing-masing saling bertegur sapa, bersalaman, saling berpelukan, cipika-cipiki, saling menghampiri dan saling bertukar cerita tentang masa lalu dan masa kini, saling meledek, bercanda bersama, berfoto ria, seolah lupa kalau semuanya sudah berusia di atas kepala 4. Bahkan Handaru sama Iwan pun sempat ‘piting-pitingan’. Bukan main, ternyata ‘ikatan persaudaraan’ di antara para alumni PG Soedhono masih begitu terasa kental dan tak lapuk dimakan usia, meskipun puluhan tahun sudah tak berjumpa.

Suasana pun bergulir dan mengalir begitu nyantai dan terasa tak ada jarak semua melebur bersilaturahim sambil menyantap hidangan khas nasi pecel dan ‘temennya’. Hampir semua makanan dan minuman yang terhidang berasal dari bawaan ‘kita-kita’ juga. Hampir semua yang hadir ikut ‘bantingan’ menjadi donator dengan memberikan donasinya seikhlasnya. Pokoknya, acara ini memang betul-betul dari kita untuk kita dilandasi semangat kebersamaan dan persaudaraan. Hiburan organ tunggal dan penyanyinya juga ikut meramaikan acara ‘gathering’ ini. Terlihat juga Mitha Devi, istrinya Rahmawan bak seorang lady rocker dengan nyantainya menyumbangkan lagu. Teman kita Antok bin Soemartono nggak mau kalah ikutan nyanyi lagu-lagu ‘jadul’ kayak jaman masih begadangan di tenesban dulu [Ooo… ketahuan nich, Antok sering dugem di karaoke… wkwkwk].

Tak terasa 2 jam sudah waktu berlalu begitu cepatnya. Giliran acara masing-masing keluarga untuk ‘perkenalan kembali’, cerita khabar singkatnya, dan usulan ke depannya. Giliran mas Kikiek bin Haryodo yang pegang mic suasana yang tadinya agak formil dan santun langsung berubah menjadi heboh dan ‘ger-geran’. Pasalnya , dengan entengnya mas Kikiek justru mengungkap ‘track record’ kenakalan-kenakalan para anak-anak Soedhono dari masa ke masa yang dulu terkenal & melegenda [nyolong ayam, nguras kolam, malem klayaban besoknya pada ngantuk dan bolos untuk tidur di bis sekolah, dsb.] wkwkwk… Wuah kalau yang ini kan namanya ‘buka kartu’. Tapi yang wajib disyukuri, meskipun dulu pada ‘bandel’ ternyata sekarang ‘aktornya’ kebanyakan justru sudah pada ‘jadi orang’ [bukannya narsis lho… hehehe].

Acara pun lanjut ke nostalgia keliling komplek. Suasana komplek begitu sepi dan lengang seperti tiada kehidupan. Pohon cemara tinggi-tinggi yang dulu mengelilingi komplek yang dulu kalau malam tertiup angin mengeluarkan suara yang khas dan merdu, kini telah tiada. Meskipun terasa adem dengan pohon rindang di pinggir jalan dan taman, kita semua prihatin dengan kondisi jalanan yang dulu rapi beraspal mulus, kini jadi jalanan tanah bercampur kubangan di sana-sini. Lebih mengenaskan lagi banyak rumah yang dulu berdiri megah dan bersih indah, kini nampak tak terawat karena tak berpenghuni dan banyak ditumbuhi alang-alang dan semak belukar liar. Bahkan ada beberapa rumah yang telah hancur dan lapuk dimakan alam. Sedih melihatnya. Kesempatan ini juga dimanfaatkan para alumni PG Soedhono untuk berfoto di depan bekas ‘rumahnya masing-masing’. Hanya Tenesban yang kondisinya masih nyaris sama seperti dulu. Kita pun berfoto ria di sini.

Sesampainya langkah kaki kembali ke dalam Soos, maka berakhir pula acara ngumpul bareng Alumni PG Soedhono ini. Diiringi lagu ‘kemesraan’nya Iwan Fals dkk. Untuk terakhir kali kita berfoto bersama di podium. “…Kemesraan ini… janganlah cepat berlalu…” Kemudian lanjut saling bersalaman untuk berpisah sementara waktu dan berjanji untuk berjumpa lagi di lain waktu menyambung ikatan persaudaraan. Detik-detik terakhir rasanya memang seperti males untuk ‘bubar’ dan pulang. Dan lagi-lagi waktu jua yang akhirnya memisahkan kita.

Tapi faktanya, Kita semua yang tergabung dalam Alumni PG Soedhono memang pernah ‘berada dan menempati ruang dan waktu yang bersamaan’, tak heran bila telah terjalin ‘ikatan persaudaraan’ di antara kita semua. Ke depannya, mari kita lanjutkan untuk saling bersilaturahim, karena selain silaturahim bisa menambah rejeki juga akan memperpanjang usia kita. Amin.

Aksi nekat berbuah nikmat

Yang ini cerita tentang ribetnya kalau bepergian secara mendadak. Jumat, 11 Februari 2011 lalu, bakda sholat Jumat tiba-tiba kepingin ke Surabaya. Pertama, rencananya bezoek adikku Yudie Sayidno yang sejak 28 Januari 2011 lalu hingga kini masih dirawat di RS Hutama Husada Surabaya guna menjalani operasi yang ke-5 berkaitan dengan penyakit kanker colon-nya. Kedua, Minggu 13 Februari 2011 mau ikutan ngumpul bareng sama temen-temen Alumni PG Soedhono di Madiun.

Ternyata waktu minta tolong sekretaris kantor untuk dicarikan tiket apa aja yang ke Surabaya, hasilnya nihil. Semua penerbangan ke Surabaya habis terjual. Tiket semua KA ke Surabaya juga nggak ada lagi. Ludesnya tiket gara-gara ada hari libur Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh hari Selasa, sehingga hari Senin adalah hari kejepit jadi banyak orang yang bepergian ke luar kota. Yach, baru sadar kalau ketemu liburan week end yang panjang. Wuah gimana ya. Berangkat nggak ya? Daripada kebanyakan pertimbangan dan nggak action mendingan nekat aja ‘go show’. Dalam hati kepikir, di Thailand aja bisa jalan’menggelandang’ ke mana-mana, masak di negeri sendiri ke Surabaya aja nggak bisa.

Akhirnya, sorenya langsung aja ke stasiun Gambir. Dan ternyata benar adanya, semua tiket habis. Konyolnya, KA eksekutif sekarang tidak menjual tiket tanpa tempat duduk. Wuah bener-bener ribet. Sambil nongkrong di salah satu cafĂ© yang ada di Gambir, mulailah otak kiri kepakai untuk mencari ide yang ‘out of the box’ gimana caranya bisa ke Surabaya. Pertama, nyoba cari orang yang nggak jadi berangkat yang mau jual tiketnya. Tapi kayaknya beresiko tinggi karena kalau nggak ada bisa batal berangkat. Kedua, nyoba nyari preman atau calo, siapa tahu bisa memberi solusi. Tapi ide yang ini juga agak susah dijalanin, mengingat manajemen PT KA sekarang lagi getol memberantas percaloan tiket dengan menyebar intelnya di mana-mana. Ketiga, ya nekat naik aja tanpa punya tiket nanti urusannya selesaikan nanti. Pas dipikirin sebentar, sepertinya pilihan ini yang paling oke.

Kalau niatnya baik, ternyata segalanya dipermudah oleh Allah SWT. Selesai sholat maghrib berjamaah di musholla Gambir waktu duduk-duduk sebentar, tiba-tiba feelingku kok kepingin menyapa salah seorang porter atau kuli angkut barang stasiun Gambir. Mulailah keluar jurus andalan ‘sok akrab’,” Hai boss, apa khabar? Gimana rame ya penumpang?” Dari hasil obrolan itulah akhirnya, aku minta tolong barangkali ada penumpang yang batal pergi lalu menjual tiketnya. Dia pun langsung dengan gesit nanya2 ke ‘gengnya’. Tidak sampai 5 menit, dia datang lagi dengan bawa satu tiket KA Sembrani ke Surabaya, yang langsung aku bayar dengan member uang lebih untuk jasanya . Alhamdulillah. Ternyata, nggak perlu pakai pilihan terakhir tadi untuk ‘nembak’ atau bayar di atas KA. Tepat pk. 20.00 berangkatlah si Sembrani ini menuju Surabaya.

KA Sembrani masuk stasiun Pasar Turi Surabaya tepat pk. 8.00 pagi [telat 1,5 jam, karena di tiket tertulis pk. 6.30]. Langsung aku telpon HP pak Ayub [mantan preman Madura, kenalanku beberapa tahun lalu yang kini ngojek], dia pun dengan senang hati mengantarku ke rumah Yudie di daerah Gubeng Kertajaya. Surprise… Yola [istrinya Yudie] dan ketiga anaknya terkaget-kaget, nggak nyangka bakalan ada tamu. Habis mandi dan sarapan soto Suroboyoan, pk. 9.00 langsung ke RS Hutama Husada bareng Yola dan Tika [putri sulungnya yg kuliah di ITS]. Sesampainya di RS, Yudie Sayidno pun kaget bercampursenang. Maklum, Lebaran kemarin waktu keluarga Sayidno ngumpul di Solo Yudie juga pas dirawat di RS, hanya 3 anaknya yang ngumpul.

Kondisi Yudie masih nampak kurus & lemah dengan selang infuse di tangan kanannya, maklum pasca operasi. Dia tunjukkan jahitan di perutnya hasil operasi terakhir, sekaligus 3 selang & kantong saluran pembuangan yang ada di perutnya. Satu untuk feces, satu untuk urine, satu lagi yang dari ginjal. Di sini aku betul-betul kagum dengan kekuatan, ketabahannya dan keikhlasannya dalam menghadapi cobaan penyakit dari Allah SWT tsb. Seandainya itu aku, rasanya mungkin tak akan sanggup menanggungnya. Salut juga buat Yolanda yang selalu setia mendampingi dan merawat adikku Yudie. Aku hanya bisa menghibur mereka berdua bahwasanya Allah SWT itu menciptakan penyakit pasti ada obatnya, jadi jangan pantang menyerah. Kita semua akan selalu mendoakan agar penyakit yang dideritanya segera disembuhkan oleh Allah SWT, Amin.

Hampir 3 jam aku menemani adikku di RS. Semoga kehadiranku di sisimu bisa menjadi ‘obat’ untuk sakitmu. Siangnya Yola membawakan aku rujak petis yang paling enak se Surabaya. Wow dahsyat nikmatnya. Karena selama ini di Jakarta nggak pernah nemu rujak petis yang senikmat ini. Kira-kira pk. 13.00, masku Wowok dating bezoek, nggak lama kemudian disusul oleh Handaru yang sebelumnya memang ngobrol denganku via HP. Kita berempat pun ngobrol ngalor ngidul sampai puas.

Akhirnya, sekitar pk. 14.00 aku bertiga pamitan sama Yudie & Yola karena mau berangkat ke Madiun menghadiri undangan Oscar Louhenapessy yang menikahkan anaknya di hari itu juga, sekalian besok kita mau berombongan menghadiri acara ngumpul bareng Alumni PG Soedhono. Berat rasanya untuk berpamitan dengan Yudie & Yola, tapi ‘manajemen’ waktu lah yang mengharuskan kita berpisah.

Sepulang dari RS Hutama Husada, aku dan Handaru langsung ke rumah makan bu Rudy untuk beli titipan istriku yang kalau ke Surabaya sama Yola selalu mampir ke situ. Terus langsung ngumpul dulu di rumah Mas Wowok, barulah nanti ke stasiun Gubeng mau naik KA Sancaka [Surabaya-Yogyakarta].

Sesampainya di stasiun Gubeng, ternyata tiket Sancaka juga sudah ludes, dan saat ini PT KAI tidak menjual tiket berdiri. Yaach… ‘hukum week end panjang’ ternyata juga terjadi di Surabaya, banyak orang bepergian. Akhirnya, mas Wowok ambil keputusan untuk langsung naik tanpa punya tiket. Bukannya nggak mau beli tiket lho… tapi emang nggak ada yang dibeli, hehehe. Karena kita harus berangkat ke Madiun saat itu juga. No compromise. Begitulah bak preman tua, pas kondektur nagih tiket, mas Wowok langsung bisik-bisik sambil tangannya memberikan salam tempel. Beres. Di Indonesia, apa sih yang nggak bisa?

Sampai di Madiun pk. 17.30, tadinya janjian sama Antok Sumartono yang mau jemput di stasiun Madiun, tapi ternyata rombongan Antok Sumartono dari Yogya baru sampai di Karang Anyar . Untunglah, aku masih menyimpan nomer HPnya Yudi Cenguk. Akhirnya, YUdi Cenguk-lah yang menjadi ‘dewa penolong’ dengan mengirim mobil plus supirnya ke stasiun. Terima Kasih ya!

Udara Madiun terasa dingin karena masih hujan rintik-rintik, perut pun jadi terasa lapar. Langsung kita meluncur ke nasi pecel Yu Gembrot, karena tadi pas di kereta Sancaka kita sudah membayangkan wisata kuliner ke situ. Dan apa yang kita bayangkan selama di kereta menjadi kenyataan. Nasi pecel dengan lauknya terasa nikmat di lidah. Dahsyat! Madiun memang terkenal nasi pecelnya yang khas, pokoke mak nyus lah!

Urusan perut selesai barulah kita mampir ke rumah Oscar Louhenapessy. Sebenarnya undangannya pk. 12.00 siang tadi, tapi nggak apa-apa yang penting kan kehadiran kita untuk bersilaturahim. Di rumah Oscar, ternyata semua handai tolannya masih komplit. Jadi sebenarnya sebelum reuni besoknya kita sudah reuni duluan sama keluarga besar Louhenapessy. Kalau saja Yudi Cenguk nggak nelpon bisa jadi kita ngobrolnya sampai malam.

Pukul 20.00. akhirnya kita dibawa supir ke Gorang-gareng ke rumah Yudi Cenguk yang ternyata rombongan Yogya [Antok Sumartono, Benny Sayidno, dan Tuti Djoko Pangestu] sudah berkumpul pula di situ. Lagi-lagi, kita ngobrol ngalor ngidul sampai malem, itung-itung pemanasan untuk acara ngumpul bareng Alumni PG Soedhono besok.
Pk. 22.00, yang asik pada ngobrol aku tinggal tidur. Eh, pk 23.00, dibangunin diajak ke Hotel Merdeka Madiun ditunggu sama rombongan mas Kikiek Haryodo. Terpaksa aku ikut daripada ditinggalin di rumah gede, kosong, sendirian pula [Yudi Cenguk dan keluarganya tinggal di rumah lain lagi yang jaraknya 5 rumah dari situ]. Rumah Yudi Cenguk kita kunci dari luar [Cenguk nggak tahu kalau malem2 kita nglayap lagi]. Lama nggak ketemu sama mas Kikiek dan rombongan, akhirnya begadanglah kita sampai pk. 03.30. Dan seperti jaman dulu waktu masih di Soedhono, kalau sudah ngumpul ramainya bukan main.

Pk. 04.00 pagi, kita masuk lagi ke rumah Yudi Cenguk dengan badan terasa capai, tulang terasa remuk, tapi hati senang dan puas banget. Tidur. Nanti pk. 10.00 recananya berangkat ke Soedhono.

Maluku sama guru anakku


Setiap kali anak-anak rapotan yang harus diambil oleh orang tuanya, selalu istriku menyerahkannya urusan ini padaku. Katanya, “Dia kan anakmu…”. Lha gimana ini, kan bikinnya bareng-bareng, jadi mestinya harus tanggung jawab bersama lah. Begitulah, sejak anak-anak di bangku SMP selalu aku terus yang harus berhadapan dengan guru wali kelasnya. It’s oke, itung-itung buat refreshing. Kalau urusan ambil rapot anakku yang nomer 1, cewek, Adhika yang di SMAN 81 [sekarang di FE-UI], biasanya sih nggak pernah ada masalah. Tapi tak urung, kalau pas ambil rapot anakku yang nomer 2, seringkali aku dibuat malu dan ‘mati gaya’ di depan ibu guru anakku dan para orang tua murid lainnya.

Sekali … waktu itu, pas anakku nomer 2 yang bernama Wira masih kelas 3 SMP saatnya pembagian rapot bayangan. Seperti biasa, setelah semua orangtua/wali murid ngumpul di kelas, ibu guru wali kelas namanya bu Yanti lalu memberikan pengantar, “Over all nilai anak-anak lumayan banyak peningkatan, dan asal bapak & ibu tahu bahwa anak-anak di kelas ini juga ada beberapa yang mulai ‘jadian’”. Dalam hati aku mikir “Sopo yo bocah… masih SMP kok pada pacaran?” Ibu guru pun melanjutkan, “ Hanya saja ada ‘pasangan’ yang perlu untuk diingatkan, karena sejak ‘jadian’ yang cowok tadinya 10 besar melorot ke ranking 37 dari 40 murid. Sebaliknya, yang cewek tadinya ranking 17 naik menjadi masuk 10 besar”. Dalam hati aku berguman, “Nah lho. Makanya jangan pacaran dulu”. Karena penasaran dan kita-kita para orang tua juga sudah biasa ketemu dan saling kenal, aku pun bertanya siapakah yang dimaksud ibu guru yang harus diingatkan? “Maaf pak… “ kata ibu guru, “… yang saya maksud adalah Wira putra bapak”. Duaar… GedUbraaaak. Langsung deh ane mati gaya, malu aku sama semua yang ada di ruang kelas. Baru tahu aku kalau anakku sudah ABG dan mulai punya TTM. Konyolnya, kok aku tahunya justru dari ibu guru.

Maluku yang kedua, waktu anakku baru 3 bulan diterima di SMA. Tiba-tiba, anakku menelpon kalau aku harus ke sekolahnya menghadap guru Wali Kelasnya. Keesokan harinya, aku langsung ke SMA-nya. Terus ketemu wali kelasnya. Saat ketemu itulah, ibu wali kelasnya Wira bilang “Bapak belum tahu ya julukannya si Wira?. Wira itu terkenalnya cowok paling ‘keren’ di angkatannya…. Sayangnya sekarang bermasalah dengan ibu guru Fisika, kalau Bapak nggak menemui dan minta maaf, Wira nggak boleh ikutan pelajaran Fisika untuk seterusnya”. Gedubraak… Jegeeerrr! Gimana ibu guru ini, ane habis ‘diangkat tinggi’ [anak ane dibilang keren] … eh langsung ‘dibanting’. Lagi-lagi ane mati gaya dan speechless.

Di ruang BP, diketemukan dengan guru BP dan ibu guru Fisika. Lalu ibu guru Fisika menjelaskan duduk persoalannya, pas pelajarannya anakku Wira asyik sendiri corat-coret di buku yang ternyata coretannya menyinggung perasaannya sambil memperlihatkan bukti nyata berupa buku anakku lengkap dengan corat-coretnya. Di buku anakku ada corat-coret [kerjaan anakku sejak SD emang bikin gambar-gambar kartun model manga atau kartun Jepang] bahwa hari itu ada ulangan 4 mata pelajaran salah satunya adalah Fisika. Di sampingnya ada tulisan gede : ANJING. Nama binatang ini yang rupanya membuat ibu guru Fisika tsb. Berang! Dalam hati aku heran, ibu guru ini gimana sich… anak kreatif begini kok dimusuhi? Wkwkwk. Dia nggak tahu kalau pas SMP si Wira pernah dihukum membersihkan meja satu kelasnya dengan kertas ampelas gara-gara kepergok sedang asyik menggambari mejanya.

Lalu aku pun menjelaskan bahwa waktu kecil, anakku Wira ini adatnya jelek. Kalau lagi marah, jengkel atau pun stress suka teriak-teriak, ataupun memaki-maki, bahkan gebrak-gebrak meja. Dan sejak umur 4 tahun dia ketahuan punya sakit Asma, jadi kalau lagi marah atau emosi atau di mobil kena macet tiba-tiba bisa kambuh sesak nafasnya. Nah, untuk menghilangkan ‘adat’ buruknya itu saya mengajari nya agar kalau sedang marah, jengkel, atau stress ambil kertas dan alat tulis lalu tuangkan aja dengan corat-coret atau gambar kartun sampai keluar semua uneg-uneg ataupun masalah yang menjengkelkannya. Tentunya, dengan tujuan supaya nggak menjadi pemicu penyakit Asmanya kambuh. Sejak saat itu hobinya adalah corat-coret, gambar, bikin komik, bikin desain kaos bola, dll. Dan saya selalu sediakan kertas 1 rim untuk terapinya ini.

Begitulah, karena hari itu mendadak ada ulangan 4 mata pelajaran dan nggak siap menghadapinya, bisa jadi dia tertekan, marah, stress, sehingga langsung secara spontan dia ungkapkan dalam bentuk corat-coret di bukunya. Sialnya ibu guru Fisika ternyata memergoki coretannya dan tersinggung. Saat itu juga, aku mohon maaf ke ibu guru tsb. Dan mohon agar kelakuan anakku dimaafkan pula. Dalam hati aku berpikir, mungkinkah semua kenakalan & kejahilanku jaman kecil dulu menurun ke anakku? Wuah kalau ya, berarti ilmu Biologi tentang Genetika benar adanya. Ah, kenapa juga dipikirin? The Show Must Go On!

Maluku yang ketiga terjadi waktu ambil rapot bayangan Semester 1, kelas 2 SMA baru-baru ini. Giliran konsultasi dengan Wali Kelasnya, aku dijelaskan bahwa nilai-nilainya masih di bawah standar. Kalau jurusan IPA pelajaran fak-nya minimal harus 8. Kalau nanti pas semesteran tidak berubah, takutnya bisa tidak naik kelas. Kalau tidak naik kelas berarti harus keluar dari sekolah ini. Yachh, ini bocah gimana sich? Kerjaan cuman sekolah aja kok nggak becus. Lalu guru wali klasnya juga berterima kasih karena pernah diantar pulang ke rumah sama anakku Wira. Dalam hati aku membatin : “Oh, rupanya kalau ke sekolah bawa mobil kerjanya nganter gurunya pulang. Berarti Wira deket sama ibu guru ini. Kalau deket sama gurunya biasanya dia sangat patuh dan mau dengerin nasehatnya”. I got the point. Langsung aku mohon kepada ibu guru wali kelas untuk memberikan nasehat agar dia mau belajar dan punya niat untuk menjadi lebih baik lagi. Karena menurut pengalaman, si Wira ini biasanya Cuma mau dengerin nasehat orang-orang yang diseganinya. Bayangin aja, saya dan ibunya nyuruh potong rambut aja nggak pernah mau. Giliran pelatih basket di klub basketnya [Roda Tama] nyuruh potong gundul, langsung dia potong gundul plontos. Ibu guru wali kelas pun setuju.

Malemnya, pas ketemu Wira, langsung aku minta agar mengurangi kegiatannya supaya kalau malam tidak terlalu capai dan punya waktu untuk pelajarannya. Akhirnya, kita kompromi, Wira memilih untuk tetap aktif latihan basket di sekolah dan di klub basketnya. Kegiatan lainnya seperti futsal, ngeband dan les drumnya berhenti dulu untuk sementara waktu sampai lulus SMA. Berarti sekarang kegiatannya tinggal basket aja, karena Wira ditunjuk oleh teman-temannya untuk jadi kapten tim basket di SMA-nya. Hasilnya, pas ambil rapot semester 1, bulan Desember yang lalu, ibu guru wali kelas dengan senangnya menjelaskan bahwa rapot anakku cukup bagus. Wuah lumayan juga strategi yang aku terapkan ternyata membawa perubahan yang signifikan. Syukur Alhamdulillah.

Wali kelas juga menjelaskan kalau anakku Wira juga terpilih untuk ikutan program pertukaran pelajar ke salah satu SMA di Singapura bulan April 2011 nanti. Tentunya kalau orangtuanya mengijinkan. Ya boleh lah bu. Siapa tahu dengan punya pengalaman belajar bersama dengan anak-anak SMA di Negara yang lebih maju dia nantinya bisa termotivasi dan terpacu untuk ‘go International’. Kan dari kecil Wira kepinginnya bisa belajar Art & Design Graphics dan menggambar Manga ke Jepang. Semoga ‘mimpimu’ diridhoi dan dikabulkan Allah SWT dan bisa menjadi kenyataan, nak! Amin.

Wednesday, February 16, 2011

Resolusi Adhika


Believe it or not, yang namanya energi positif ternyata memang sangat dahsyat kekuatannya. Kali ini mau sharing tentang anak sulungku cewek bernama Adhika.

Waktu kelas 2 SMA, di buku 'gado-gado'nya [buku catatan belajar & coretannya] ditulisnya besar-besar FE-UI 2010. Wow, rupanya ini anak menuliskan resolusinya. Lalu sambil iseng kutanya mengapa ia kepingin memilih FE-UI kenapa nggak ITB, karena yang kutahu para sahabatnya sejak SMP pada kepingin kuliah di ITB. Adhika pun menjawab dengan yakinnya "ngapain ikut-ikutan temen. Aku pinginnya FE-UI kok..." Lho kok FE-UI??? Adhika pun menjawab bahwa di FE-UI seabreg kegiatannya. "Aku kepingin ikutan panitia 'Jazz goes to Campus', trus mau ndatengin musisi jazz Amrik. Aku kepingin pameran foto. Aku kepingin... dst." Wuih, banyak banget maunya.

Memang anakku yang ini sejak SMP selalu aktif dengan berbagai kegiatan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Jadi OSIS lah, jadi panitia Pentas Seni-lah, ke panti asuhan lah, penelitian ke Lombok-lah, dsb. Bayangin aja, mulai SMA kelas 1 s.d. kelas 3 setiap hari hampir rata-rata pulangnya selalu di atas pk. 9 malem. Hebat kan. Ibunya tiap hari ketar-ketir nungguinnya. Jadi gara-gara kakak kelasnya yang di FE-UI promosi ke SMAN 81 bahwa di FE-UI seabreg kegiatannya, ya akhirnya Adhika bener-bener yakin bahwa di situlah tempat kuliah yang pas buat dia.

Sebagai orang tua, terpaksa aku cuma bisa mendoakan agar semua yang diinginkannya bisa terwujud. Tentunya, dengan tidak lupa mengingatkan untuk selalu mempersiapkan diri.

Seiring berjalannya waktu, ketika selesai ujian SMA, iseng-iseng aku tanya lagi "mau daftar ke mana?". Adhika pun menjawab tetap dengan yakinnya "Ya.. FE-UI lah!". Aku coba cari data tentang passing grade FE-UI via mbah google, ternyata untuk UI yang tertinggi passing grade-nya dan terbanyak pendaftarnya adalah FK-UI & FE-UI. Nah lho. Gawat juga, akupun minta Adhika supaya cari cadangan juga. "Kalau begitu cadangannya mau daftar ke Universitas Swasta mana?", tanyaku lanjut di lain kesempatan. Adhika pun menjawab, "Ngga usah lah pak...".

Namun akhirnya, ketika UGM mulai buka pendaftaran lebih dulu daripada UI, dia minta duit buat daftar UGM sebagai cadangannya. Begitulah, akhirnya Adhika ikutan test FE-UGM dan juga kemudian FE-UI. Ternyata UGM pengumuman duluan, dan Adhika termasuk yang diterima. Alhamdulillah, enteng sudah pikiran bapaknya denger Adhika sudah dapat sekolah. Dan hanya diberi waktu 1 minggu untuk daftar ulang dan menyesaikan semua administrasinya ke kampus UGM. Ia pun rombongan sama temen-temennya SMAN 81 yang diterima di UGM daftar ke Yogya barengan.

Giliran SIMAK UI pengumuman, Adhika nggak berani melihat koran. Lalu aku menghiburnya, "kalau nggak diterima FE-UI nggak apa-apa, kan sudah dapet FE-UGM yang bagus juga." Tetap aja dia nggak mau lihat. Akhirnya, diam-diam aku lihat nomer testnya dan kucocokkan dengan pengumuman yang ada di koran. Alhamdulillah, ternyata Adhika diterima juga di FE-UI. Akhirnya, barulah dia berani melihat sendiri terus dilanjut sujud syukur.



Sekarang Adhika begitu enjoy banget dengan kampusnya, teman-temannya, dan kegiatannya. Baru juga semester 1, dia sudah terlibat ikutan klub fotografi FE-UI, kerjaanya kalau Sabtu atau Minggu hunting foto kemana-mana. Bahkan sudah bikin plan buat hunting foto ke Bangka dan mau 'back packer'-an ke Vietnam & Kamboja. Terakhir ini juga ikutan jadi panitia seminar internasional tentang perdagangan bebas di kampusnya.

Begitulah, 'mimpi' anakku berupa resolusi pas kelas 2 SMA dulu ternyata akhirnya menjadi kenyataan. Aku dan ibunya selalu berdoa dan bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala sesuatu yang terbaik buat keluargaku, dan memohon agar semua cita-cita anakku dapat dikabulkan. Amin.