Wednesday, February 23, 2011

'Jaka Sembung Bawa Golok'

Pernah denger joke ini nggak? ‘Jaka sembung bawa golok, kagak nyambung goblok!’ Biasanya dipakai untuk meledek mereka-mereka yang komunikasinya tidak ketemu alias ‘ngaco’ dan ‘nggak nyambung’. Jujur saja, meskipun biz saya bergelut di bidang komunikasi [marketing & communication alias praktisi periklanan] tapi nggak luput juga dari urusan miss-communication & miss-understanding.

Waktu itu kita dipercaya client untuk menggarap iklan tv salah satu obat sakit kepala yang modelnya adalah seorang dalang kondang yang tinggalnya di Karang Anyar, Surakarta. Pas lagi nyari-nyari ide, akhirnya saya dan teman sepakat untuk menemui beliau di Solo untuk sekaligus menggali pengetahuan tentang perwayang-kulitan, perdalangan, apa yang nggak boleh dan apa yang boleh untuk di-explore menjadi sebuah karya iklan TV. Tiket Garuda pun sudah disiapkan oleh Sekretaris untuk keberangkatan pesawat besok pagi pk. 06.20. Saya dan teman pun janjian untuk ketemuan langsung di bandara di tempat biasa kalau kita biasanya mau ke Singapore.

Besoknya pk. 5.00, setelah memarkir mobil di tempat parkir yang khusus untuk menginap, saya nongkrong di kafe yang biasa kita jadikan tempat ngumpul kalau pergi rame-rame sama temen-temen. Pk. 05.30, temen pun datang. Setelah ngobrol santai sambil minum kopi, akhirnya sepakat untuk ‘boarding’. Pas memasuki tempat boarding dan berada di depan counter Garuda, barulah kita sadar dan ‘ngeh’, kalau kita ternyata berada di tempat yang salah, yaitu terminal keberangkatan untuk ke Luar Negeri. Padahal, seharusnya kita ke terminal untuk penerbangan domestic. Pokoknya, bener-bener ‘Jaka sembung bawa golok’ . Akhirnya, sambil panic dan rasa was-was ditinggal pesawat karena waktunya sudah mepet, kita berdua pun berlari menuju ke terminal untuk keberangkatan domestic, yang jaraknya lumayan jauh.

Apa yang kita takutkan pun terjadi. Sampai di terminal yang benar ternyata boarding untuk flight kita telah ditutup dan pesawat sudah berangkat ke Solo. Akhirnya, kita langsung beli tiket baru untuk penerbangan ke Semarang yang sejam lagi take off. Nggak mau ketinggalan pesawat untuk kedua kalinya, kita pun langsung boarding dan masuk ke dalam. Rencananya, dari Semarang nantinya mau nyambung naik taxi ke Solo. Begitulah yang terjadi, gara-gara ketinggalan pesawat, jadinya malah kelamaan jalan darat dari Semarang ke Solo daripada Jakarta ke Semarang.

Pk. 13.00, kita check in di Novotel Solo. Kepinginnya sih langsung ketemu Ki dalang kodang tsb., tapi ternyata beliaunya masih tidur karena tadi malam habis ‘ndalang’ [dalang kalau malam kerja siangnya tidur]. Diperkirakan habis sholat Isya kita baru bisa ketemuan. Beginilah nasib praktisi periklanan, sudah berangkat terburu-buru ternyata masih juga belum bisa ketemu. Daripada nggak ngapa-ngapain, kita pun keliling Solo sambil nyari ide kreatif iklan yang hendak kita garap dan sekaligus nyari-nyari lokasi yang bagus buat nanti kalau jadi shooting di Solo atau di Tawangmangu.

Sambil wisata kuliner, akhirnya kita dapat ide untuk pakai dalang bule yang manggung bareng ki dalang kondang tsb. Jadi ceritanya seolah-olah ada transfer teknologi perdalangan dari ki dalang tokoh kita ke dalang bule, tentunya dikaitkan juga dengan benefit obat sakit kepala yang selama ini dibintangi ki dalang kondang tsb.

Malemnya, sehabis makan nasi liwet khas Solo, kita langsung meluncur ke rumah Ki dalang kondang tsb. yang adanya di tengah-tengah Karang Anyar arah Tawangmangu. Di rumah beliau, kita pun ‘dipaksa’ makan lagi karena sudah disiapkan berbagai masakan khas Jawa Tengah kreasi ibu tuan rumah [makan lagi, makan lagi terus kapan kerjanya ya?]. Selesai makan langsung lah kita utarakan maksud kedatangan ke Solo saat itu.

Mulailah kita berdua bergantian menanyakan hal penting yang berkaitan dengan pakem perwayang-kulitan, apa yang boleh dan apa yang gak boleh. Sampailah ke konsep/ide kita untuk memakai dalang bule, sekaligus apakah beliau punya murid atau rekan bule yang bisa mendalang. Ki dalang tokoh kita pun dengan mantepnya bilang kalau every things is okay, prinsipnya nggak ada masalah, dalang bulenya juga ada dan siap kapan aja kalau mau diajak shooting iklan obat sakit kepala tsb. Tapi sebentar pak, kita berdua harus ketemu langsung dulu sekalian mau kita casting dulu [apakah wajahnya oke, apakah bisa acting, dll.]. Akhirnya, beliau berjanji untuk mendatangkan dalang bule tsb. Ke Novotel besok pagi pk. 10.00-an, dan silakan ngobrol sampai puas, katanya.

Malam itu kita ngobrol sampai pk. 1.00 pagi. Anehnya, kita berdua ‘klenger’ dan ngantuk berat, sebaliknya pak dalang tokoh kita ini justru suaranya makin keras dan lantang. Maklum beliau kan dalang yang memang ‘hidupnya’ malam sampai pagi. Sambil sedikit sungkan, karena memutus obrolannya yang makin semangat, akhirnya kita berdua pamit untuk pulang ke Novotel, yang jaraknya 15 km dari situ.

Pk. 10.00 sehabis sarapan, kita kedatangan tamu yang telah menunggu di Lobby hotel. Sambil menenteng kamera untuk casting aku dan teman bergegas menemuinya. Pas sampai di tempat tamu menunggu dan melihat tamunya, aku dan teman pun saling lihat-lihatan seolah tak percaya dengan yang ada di depan mata sambil menahan ketawa. Pasalnya, tamu yang ‘dikirim’ ki dalang kondang tsb. sebagai dalang bule itu ternyata adalah orang Jawa tapi yang kulitnya albino. Nah lho. Lagi-lagi ‘jaka sembung bawa golok’. Apa yang kita maksud dalang bule [orang asing] ternyata ditangkap oleh Ki dalang sebagai dalang albino [baru sadar kalau untuk orang jawa kata bule itu merujuk untuk orang yang kulitnya albino, apalagi orang Solo Kiai Slamet aja disebut sebagai Kerbau bule, wkwkwk…]. Berhubung tidak mau mengecewakan tamu, akhirnya kita ngobrol sampai kurang lebih satu jam. Sepulangnya dalang bule tsb. Kita pun berdua tertawa sepuasnya.

Pelajaran yang bisa dipetik, ternyata membangun komunikasi itu nggak gampang, sebuah kata yang sama ternyata diartikan berbeda oleh orang lain. Daripada stress ngurusin dalang bule, kita berdua pun ke pasar Triwindu untuk mencari ‘barang antik’, sambil menunggu kiriman ‘dalang bule’ beneran dari ki dalang kondang tokoh kita. Walaupun nantinya, meskipun kita sudah bersusah payah ke Solo segala, ternyata ide ini nggak jadi kita eksekusi dan diganti dengan ide lain yang lebih ‘ngocol’. Beginilah kerjanya praktisi periklanan untuk bikin iklan yang ‘get attention’ harus ‘jungkir balik’ terlebih dahulu. Tapi yang penting enjoy terus dan tetap semangat!.

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tinggalkan pesan Anda.