Friday, May 27, 2011

Menguak makna kebahagiaan




Apa sih yang dimaksud dengan kebahagiaan?
Jawabannya akan bermacam-macam tergantung persepsi setiap orang tentang kebahagiaan itu sendiri. Saat jalan-jalan ke pulau Ayer di kawasan wisata kepulauan seribu, saya pernah ngobrol dengan seorang turis asal Amerika Serikat yang sudah berumur 60-an tahun. Nah si mister ini rupanya sedang menikmati masa pensiunnya dengan mengunjungi pelosok dunia. Asyik banget kan. Di masa tuanya masih diberi kesehatan dan dapat menikmati indahnya dunia. Bukan main.

Nah, saya pun coba menanyakan apakah ia bahagia dengan hidup yang dijalani selama ini. Ia pun menjawab bahwa di masa tuanya ini ia sangat bahagia karena hampir semua yang dimimpikannya sewaktu muda dulu hampir semuanya dapat terwujud. Dan yang mengherankan yang diceritakannya justru lebih ke masalah orang-orang yang dicintainya dan nostalgia saat bisa kumpul bareng bersama keluarganya. Jadi bukan seputar kebahagiaan saat ia menikmati jalan-jalan keliling dunia.

Lalu ia pun ganti bertanya: “Are you happy?”. Saat itu saya pun menjawab sekenanya, “Ya, I’m happy.” Si mister pun melanjutkan lagi pertanyaannya : “What’s really important in your life?” dan “Can you be happier?”. Pertanyaan berikutnya tsb. Yang akhirnya membuat saya tidak bisa menjawabnya lagi. Karena jelas memerlukan perenungan lebih lanjut tentang hidup yang sudah saya jalani selama ini. Nah, gara-gara ngobrol dengan ‘bule’ tsb. waktu refreshing di pulau Ayer saat itu, jadi terpakai untuk merenungkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas sekaligus introspeksi diri.

Dulu, saat mengawali pekerjaan sebagai reporter di grup media yang terkenal, saya berpikir sederhana banget bahwa saya akan tetap bisa mewujudkan idealisme saya yaitu : ‘jalan-jalan’ & berpetualang ke mana saja mengikuti tugas junalistik saat itu, hobi baca & menulis tersalurkan, ketemu dengan beragam manusia, nggak harus terjebak rutinitas kerja di belakang meja setiap hari, dan punya duit cukup untuk hidup layak di Jakarta ini. Dan saat itu benak saya dipenuhi pemikiran bahwa kebahagiaan akan datang mengalir sejalan dengan karier di dunia jurnalistik, punya rumah, punya mobil, jalan-jalan ke luar negeri untuk tugas liputan jurnalistik, dan segala bentuk manfaat lainnya. So simple things.

Apa yang ditanyakan oleh si Mister ‘Bule’ tsb. akhirnya memang secara perlahan tapi pasti merubah cara pandang saya akan makna kebahagiaan itu sendiri. Karena selama ini saya siap menjalani hidup tetapi tidak “hidup”. Melalui perenungan tsb. saya sadar banget bahwa ternyata arah hidup saya banyak dipenuhi dengan rencana-rencana yang berasal dari luar, tanpa dibarengi dengan pemahaman yang memadai akan diri sendiri . Begitu sibuk dengan action plan untuk hidup ke depan, tapi justru abai untuk menjalaninya. Boleh dibilang saya nggak merasa bahagia, karena pencapaian action plan yang telah saya susun justru tidak pernah sesuai dengan yang diharapkan. Dan yang lebih penting, karena plan tsb. saya adopsi dari luar diri pribadi, ekspektasi nya pun tidak pernah sejalan dengan suara hati.

Menurut para ahli, separuh dari otak kita berpikir dengan menggunakan logika, barulah sebagian lagi menggunakan emosi. Apalagi, background pendidikan yang pernah saya tekuni adalah filsafat yang memang selalu mengedepankan aspek logika berpikir yang kuat. Kecenderungannya seringkali logika mengatakan hal yang berlawanan dengan emosi. Kalau yang terjadi seperti ini, maka mulailah mencoba untuk mendengarkan apa yang dikatakan oleh suara hati. Begitulah, saat saya mencoba mengambil keputusan ataupun pilihan yang berdasarkan suara hati, kehidupan yang saya jalani jadi jauh lebih seru dan menarik.

Be yourself! Barangkali salah satu kata kunci dari kebahagiaan itu adalah apabila kita dapat melakukan apapun yang sesuai dengan keinginan ataupun suara hati kita. Marilah kita coba untuk berbuat ‘kebaikan’yang bermanfaat untuk kehidupan yang ada di sekitar, mulailah dari hal kecil yang kita bisa.

Lebih dari itu, kalau dikaji lebih jauh, kebanyakan rencana hidup yang kita jalankan selalu berkutat untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga saja. Nggak ada yang merencanakan sesuatu yang nantinya dapat bermanfaat untuk orang lain, apalagi untuk kemasahalatan orang banyak. Entahlah, akhir-akhir ini dorongan dari dalam diri selalu mengatakan agar sisa usia yang masih ada ini, alangkah bahagianya bila ‘hidup’ ini dapat bermanfaat untuk orang banyak.

Itulah sebabnya, saya selalu terobsesi untuk bisa memiliki usaha yang mampu mempekerjakan banyak orang. Saat bisnis rental eskavator saya masih berjaya, ada 25 orang yang nafkahnya terpenuhi dari situ, sayangnya usaha itu pada akhirnya harus terhenti gara-gara iklim dunia usaha yang tidak menentu. Makanya saat ini pun, semoga masih diijinkan oleh Allah SWT, saya selalu terus mencoba untuk dapat memiliki bisnis yang dapat membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Insya Allah, Amin.

Saya percaya bahwa pastinya akan selalu ada jalan menuju kebahagiaan yang hakiki bagi siapapun yang memilih untuk mendengarkan suara hatinya.

Friday, May 20, 2011

Waspadai makanan dan jajanan berbahaya




Teman saya Hendy hobi banget jajan es cincau setiap kali kita makan siang bersama. Emang enak sih. Saya pun juga beberapa kali mencobanya. Selain enak dan menyegarkan, konon kan cincau bisa mengobati panas dalam. Selain itu, es cincau kan minuman khas yang Indonesia banget.

Tapi itu dulu, tatkala belum menonton laporan investigasi tentang makanan berbahaya yang sering ditayangkan oleh TV swasta. Karena suatu kali laporan investigasi TV tsb. kebetulan menelusuri asal-muasal es cincau tsb. yang ternyata saat proses pembuatannya justru memakai bahan pengawet yang berbahaya bagi tubuh manusia. Bahkan biar terlihat kenyal dan menarik dicampur pula dengan bedak cap kodok. Es batunya pun juga berbahaya, karena dari air mentah [bahkan ada yang dari air kali]. Nah lho. Akhirnya, hobi teman saya Hendy pun sebagai penikmat es cincau berhenti setelah menonton tayangan tsb.

Memang setelah beberapa kali menonton TV tentang laporan investigasi terkait dengan jajanan dan makanan yang dijual sehari-hari di kota metropolitan ini, saya merasa ‘ngeri’ dibuatnya. Bayangkan, setiap makan siang kan, mau nggak mau, kita harus makan/jajan di luar. Tapi menurut laporan investigasi TV tsb. begitu banyak makanan yang dijual ternyata justru membahayakan kesehatan kita.

Meskipun sudah sering disidak dan diperingatkan, tetap saja masih banyak ditemukan makanan yang mengandung zat berbahaya dijual bebas di pasaran. Bukan cuma terdapat dalam bahan makanan basah seperti mi dan tahu, jajanan anak di sekolah juga tak luput dari ancaman bahan kimia berbahaya, salah satunya ya seperti cincau di atas.

Biasanya ada empat jenis bahan berbahaya yang sering disalahgunakan : yakni formalin, boraks, pewarna rhodamin B, dan methanyl yellow. Kenyataan yang sering diliput oleh laporan investigasi tsb. jelas semakin menambah panjang daftar makanan berbahaya yang beredar dengan mudahnya di sekitar kita sejak dulu. Sebut saja formalin sebagai pengawet dalam bakso, mie kuning dan tahu. Selain itu pernah juga ditayangkan daging bakso yang asalnya dari daging tikus sawah serta penggunaan pemutih bagi pembuatan bakso. Ayam tiren [mati kemarin] atau bangkai yang diolah lagi menjadi ‘fried chicken’ pinggir jalan. Ikan busuk yang diolah lagi menjadi siomay ataupun otak-otak. Dan masih banyak lagi.

Pastinya bahan makanan berbahaya di atas akan berdampak buruk bagi kesehatan. Begitu pula berbagai macam bahan tambahan seperti pemanis buatan, pengawet, pemutih, dan pewarna tekstil dapat menyebabkan diare, pusing-pusing, muntah. Kalau dikonsumsi secara terus menerus, berbagai bahan berbahaya itu akan meracuni liver, selain itu juga turut menabung karsinogen dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit kanker, khususnya kanker usus dan saluran kemih.

Menurut laporan investigasi TV tsb. ‘kenakalan’ para penjual makanan dengan bahan berbahaya ini semata-mata hanyalah untuk mencari keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Jadi hanya karena motif ekonomi mereka tega untuk ‘meracuni’ konsumennya yang notabene adalah fihak yang menjadikan tebal dompet mereka. Luar biasa, tidak ada lagi pertimbangan etika, moral, agama dan nurani. Demi fulus apapun dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Sudah sedemikian ‘jahat’ dan rusakkah moral mereka? Silakan disimpulkan sendiri.

Bagaimana dengan peran pemerintah? Walaupun kerap dipaparkan oleh laporan investigasi TV, nampaknya pemerintah ‘tenang-tenang’ saja. Lagi-lagi terjadi ‘pembiaran’. Di era perokonomian bebas ini, masyarakat memang dilepas bebas baik sebagai produsen maupun konsumen yang harus mengurus dirinya sendiri. Paling-paling, sekali-sekali menjelang bulan puasa dan Idul Fitri saja mereka melakukan sidak dan pengawasan terhadap produk makanan. Itu pun biasanya hanya dilakukan secara acak.

Saran saya, tatkala kita hendak menyantap makanan, jajanan, ataupun wisata kuliner alangkah baiknya bila mulai mengkritisi dan menelusuri : siapa, darimana, apa, bagaimana makanan tersebut dihasilkan. Ingat jangan asal embat dan tanpa pernah berfikir terlalu jauh. Jangan hanya mempertanyakan masalah halal-haram atau higienis apa tidaknya, tapi cobalah untuk lebih kritis dengan apa yang hendak kita santap. Sebagai konsumen, kita harus lebih selektif untuk memilih. Kalau mau main aman, barangkali ada baiknya juga bila kita membatasi kebiasaan jajan atau makan di tempat yang sembarangan. Pilihlah makanan atau jajan di tempat yang lebih layak dan terpercaya.

Wednesday, May 11, 2011

Memahami 'Sholat Khusyu'



Suatu hari, teman saya Dody, tiba-tiba tergerak hatinya untuk ikutan sholat Jumat di masjid, padahal selama ini, temen yang satu ini justru terkenal paling ‘murtad’ dalam urusan beragama. Entahlah, saya sendiri kurang yakin apakah sebelumnya pernah sholat apa nggak. Jangankan sholat Jumat, yang wajib sholat 5 waktu aja kagak pernah dijalankan. Tapi it’s oke, mungkin aja dia ingin berubah untuk menjadi lebih baik, kenapa tidak.

Begitulah, usai sholat Jumat dia pun dengan polosnya menceritakan pengalamannya. “Gile… itu baca doanya panjang amat, sampai ngelamun jorok gue nungguinnya…”, ujarnya. “Udah gitu… begitu abis sholat, eh… itu sebelah kanan, kiri, depan belakang gue pada ngajakin salaman, ngajak kenalan… emang tampang gue kayak selebrity siapa ya, kok pada kepingin kenalan…”.

Surprise saya mendengar komentarnya, ketahuan banget kalau sepanjang usianya nggak pernah sholat Jumat ke mesjid. Saya pun langsung mengkomentarinya, “Dasar Islam KTP loe… mereka itu bukan ngajak kenalan tau..., itu emang adab di masjid saat selesai sholat berjamaah untuk saling bersilaturahim. Kalau masalah konsen… jangankan lu, gue aja juga masih susah njalaninnya…”.

Sementara lupain dulu si Dody yang emang jauh dari agamanya, saya justru kepingin membahas masalah sholat yang kurang ‘konsentrasi’ tsb. Nah, pernah nggak mengalami masalah seperti saya? Merasa bahwa saat menjalankan ibadah sholat kok kayaknya kurang khusyu’. Terkadang muncul pertanyaan dari dalam diri, “Sholat saya diterima Allah SWT apa nggak ya?”.

Gara-gara kepingin bisa sholat khusyu’, saya coba browsing ke mbah google, juga membeli beberapa buku yang khusus membahas masalah sholat khusyu’, dan berdiskusi dengan pak ustadz musholla komplek saya. Karena keinginan untuk memahami sholat khusyu itu yang seperti apa, adalah bagian dari keinginan hati ini yang selalu menuntut untuk selalu belajar Islam dengan lebih baik.

Sebelumnya, pemahaman saya terhadap sholat khusyu’ itu lebih ke bagaimana saat menjalankan sholat sepenuhnya hati, pikiran & perasaan kita betul-betul terfokus dan pasrahkan hanya pada Allah SWT semata. Dan seolah-olah hanya ada saya & Allah SWT saja, tanpa peduli dengan keadaan di sekitar. Sehingga hanya saat menjalankan sholat malam [tahajud] kekhusyu’an itu baru bisa saya dapatkan, karena terbantu dengan suasana malam yang hening & sepi, terus niat untuk benar-benar focus pada sholat yang dijalankan.

Sedangkan yang paling tidak merasa khusyu itu justru kalau sedang menjalankan sholat berjamaah di masjid ataupun di Musholla. Entahlah, tatkala Imam sholat membacakan surat Al-Quran yang panjang [yang saya belum tahu suratnya], pastinya pikiran saya langsung melayang ke mana-mana.

Inilah mungkin kesalahan utama saya selama ini. Banyak surat-surat Al-Quran yang panjang yang tidak saya kenali. Jujur saja, masalah ini memang yang paling sering saya alami. Apalagi kalau saat sholat berjamaah, kemudian terdengar suara-suara lain di luar sholat, langsung konsentrasi buyar dech.
Berbeda dengan saat saya melakukan sholat sendirian, jelas terasa lebih dapet khusyu’nya, karena sambil membaca surat, pikiran saya selalu mencoba untuk memahami artinya. Lha masalahnya, laki-laki itu diwajibkan untuk selalu menjalankan sholat secara berjamaah. Nah lho.

Hasil dari googling dan baca beberapa buku, yang dimaksud khusyu’ itu ternyata bukan seperti kontemplasi ataupun keterputusan dengan dunia nyata saat menjalankan sholat. Tapi lebih ke masalah pikiran yang focus atau konsentrasi ke niat untuk menjalankan ibadah sholat itu sendiri. Jadi bukan dengan memejamkan mata atau telinga agar tidak melihat atau mendengar apapun alias menutup diri dari lingkungan sekitarnya. Justru sebaliknya, khusyu’ di sini, meskipun focus & konsentrasi pada ibadah sholat kita harus tetap sadar serta peduli atas apa yang terjadi pada dirinya, lingkungannya berikut situasi yang ada pada saat itu.

Menurut ustadz saya, kalau kepingin sholat khusyu’ ya belajar dari sholatnya nabi Muhammad SAW. Karena kita tidak dibenarkan untuk membuat standar sendiri menyangkut kekhusyu’an sholat ini. Bahkan Rasulullah SAW juga bersabda “Sholatlah kalian sebagimana kalian melihat aku sholat.”
Untuk itu kata pak ustadz lebih lanjut, “Sholat khusyu’ itu perlu dipahami secara lebih luas. Sebab kenyataannya begitu banyak fakta yang menunjukkan bahwa nabi Muhammad SAW melakukan sholat dengan berbagai keadaan.”

Berikut ini gambarannya :

1. Nabi Muhammad SAW pernah sholat sambil menggendong bayi
2. Nabi Muhammad SAW pernah memperlama sujudnya karena ada cucunya yang naik ke atas punggungnya.
3. Nabi Muhammad SAW pernah mempercepat sholatnya saat beliau menjadi imam, karena mendengar ada anak kecil menangis.
4. Nabi Muhammad SAW memerintahkan orang yang sholat untuk mencegah seseorang lewat di depannya.
5. Nabi Muhammad SAW saat menjadi imam juga pernah lupa gerakan sholat tertentu, bahkan salah mentapkan jumlah bilangan rakaat sehingga beliau melakukan sujud sahwi.
6. Nabi Muhammad SAW pernah memerintahkan orang yang sholat untuk membunuh ular serta hewan liar lainnya.
7. Nabi Muhammad SAW mensyariatkan fath kepada makmum bila mendapati imam yang lupa bacaan atau gerakan, sedangkan buat jamaah wanita cukup dengan bertepuk tangan.
8. Nabi Muhammad SAW pernah melakukan sholat di atas kendaraan [hewan tunggangan/unta] yang berjalan, baik sholat wajib maupun sunnah, beliau juga membiarkan tunggangannya menghadap kemana pun.
9. Nabi Muhammad SAW juga pernah memindahkan tubuh atau kaki istrinya saat sedang sholat karena dianggap menghalangi tempat sholatnya.
10. Nabi Muhammad SAW mengajarkan orang yang sholat untuk menjawab salam dengan isyarat.

Hasil berdiskusi panjang lebar dengan pak ustadz, berkesimpulan bahwa sholat khusyu’ itu tidak harus selalu berupa kontemplasi ataupun membuat pelakunya seolah meninggalkan alam nyata seolah ingin menembus ruang dan waktu bertemu Allah SWT. Karena kalau kita kaitkan dengan fakta sholat Nabi Muhammad SAW seperti di atas, beliau justru tidak pernah ‘kehilangan kesadaran’ saat sholat. Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah memanjangkan sholat saat menjadi imam. Kalau pun pernah diriwayatkan beliau pernah sholat sampai bengkak kakinya, maka itu bukan sholat wajib tetapi sholat sunnah. Dan panjangnya sholat beliau bukannya karena beliau ‘meninggalkan alam nyata’ lantaran berkontemplasi, tetapi karena beliau membaca ayat-ayat Al-Quran dengan jumlah yang banyak. Jadi sholat khusyu’ itu adalah sholat yang mengikuti sholatnya Nabi Muhammad SAW.

Ternyata mencoba untuk berusaha sholat khusyu’ itu juga tidak mudah. Saat sholat sendirian memang lumayan bisa. Tapi saat sholat berjamaah, tetap saja terkadang pikiran kita sesaat melayang ke mana-mana, terus pas sadar, berusaha lagi untuk konsentrasi mendengarkan bacaan Imam. Begitulah yang terjadi. Namun hingga tulisan ini dibuat, saya tetap semangat untuk berusaha sholat berjamaah dengan khusyu’. Entahlah, apakah sholat saya diterima Allah SWT atau tidak, yang penting tetap berusaha dengan sepenuh hati. Karena saya percaya dan seyakin-yakinnya bahwa Allah itu Maha Mengetahui. Allahu Akbar.

Monday, May 02, 2011

Kerja tanpa kantor




Sewaktu asyik ngopi di Starbuck, tiba-tiba datang 3 orang teman yang biasa kerja bareng tim saya kalau kita sedang produksi iklan TV. Mereka bertiga adalah pemilik sebuah production house yang cukup ternama di Jakarta. Sudah banyak produksi iklan yang mereka garap dan kebanyakan brand dengan nama besar semua. Akhirnya kita pun gabung di satu meja. Sama seperti saya, mereka pun langsung mengeluarkan laptop masing-masing dan mulai asyik browsing dengan memanfaatkan WiFi yang ada di kafe tsb.

Sebenarnya kalau ngomongin nongkrongnya sih biasa saja. Tetapi yang bikin nongkrong di Starbuck ini jadi menarik untuk diceritakan karena mereka bukan sekadar nongkrong, tapi sedang bekerja menggarap persiapan produksi sebuah iklan brand terkenal. Lho kok bisa? Inilah asyiknya kalau kita bisa memanfaatkan canggihnya teknologi terkini untuk memfasilitasi pekerjaan dan profesi kita. Canggihnya teknologi informasi & kemudahan akses internet secara perlahan tapi pasti memang berhasil menggeser paradigma lama tentang konsep bekerja.

Dulu, yang namanya bekerja itu kan dianalogikan harus ada ruangan kantornya, ada meja kerjanya, ada telpon, fax, komputer, tumpukan file, dsb. Saat ini, dengan maraknya koneksi internet di mana-mana, konsep bekerja untuk beberapa profesi nampaknya sudah tidak memerlukan kantor secara fisik lagi. Karena ngantornya bisa di mana saja [di rumah, kafe, mall, di lapangan, dsb], kapan saja, dan dengan siapa saja, asalkan masih ada handphone dan jaringan koneksi internetnya. Tentunya, ini akan banyak menghemat overhead cost perusahaan, karena bisa jadi tidak perlu menyediakan ruang kantor yang luas dan kelengkapannya, sekaligus juga bisa hemat listrik maupun biaya telpon dan fax.

Untuk orang macam saya yang susah berangkat ngantor pagi, jelas menguntungkan. Karena bisa berangkat ke tempat ‘ketemuan’ agak siangan setelah padatnya lalu lintas Jakarta mulai berkurang. Jadi nggak banyak buang waktu terjebak kemacetan yang akhir-akhir ini bikin frustasi warga Jakarta dan sekitarnya. Sehingga energy yang ada benar-benar dapat digunakan untuk full konsentrasi memikirkan dan menyelesaikan pekerjaan yang sedang digarap.

Memang, khususnya untuk profesi praktisi periklanan seperti saya, seharusnya tidak diperlukan kantor secara fisik lagi. Untuk bikin konsep kreatif iklan, tim kreatif bisa kerja sambil ngopi di Starbuck. Kita satu tim bisa berdiskusi sambil cari referensi gambar via internet. Kalau perlu menggali brief dari client pun bisa kita omongin by email atau malah chatting, maupun BBM-an via Blackberry yang lagi ngetrend. Kemudian bila konsep kreatif iklan sudah siap tinggal bikin janji untuk ‘ketemuan’ guna mempresentasikan kerjaan tsb. Malah kalau client-nya lagi sibuk dinas ke luar kota atau ke luar negeri, dan kerjaan harus segera dapat persetujuan kita bisa kirim by email, kemudian diskusi untuk masukan maupun koreksi bisa menggunakan fasilitas chatting atau email. Praktis kan.


Canggihnya teknologi informatika, selain bisa merubah konsep ngantor yang sebenarnya tidak memerlukan ruangan fisik lagi, juga nantinya akan merubah paradigma terkait dengan jam ngantor yang saat ini umum berlaku. Karena mereka yang memanfaatkan koneksi nirkabel ini secara tidak sadar jam ngantornya justru menjadi semakin panjang.

Fakta terkini, sejak maraknya jejaring sosial melalui Twitter, Facebook, maupun BBM-an melalui Blackberry, lalu lintas komunikasi pekerjaan justru menjadi semakin intens, mudah dan cepat, juga sudah menabrak aturan jam kantor konvensional eight to five [8.00-17-00]. Bayangkan saja beberapa teman yang bekerja di bidang marketing, usai sholat shubuh sudah harus ngecek email, menjawab BBM-an, lanjut dengan saat berangkat ke kantor juga disibukkan dengan urusan pekerjaan melalui Blackberry-nya. Begitu pula saat pulang kantor di mobil pun masih sibuk BBM-an [dengan timnya, supplier, jaringan distribusinya, agency iklannya, pihak media, dll.] untuk membahas pekerjaan launching produk yang menjadi tanggung jawabnya.

Menyikapi trend seperti ini seharusnya pihak perusahaan bersyukur, karena merekalah sejatinya yang paling diuntungkan. Kalau tadinya segala urusan pekerjaan hanya bisa diselesaikan di kantor dan hanya pada jam kantor, kini bisa di mana saja dan kapan saja karena ‘dunia ada dalam genggaman tangan’. Hanya meeting tertentu saja yang mungkin masih memerlukan kehadiran fisik dan tergantung dengan ruang kantor dan waktu yang telah disepakati.

Ironisnya, menurut beberapa teman yang curhat, banyak perusahaan yang justru masih berkutat dengan paradigma konvensional dalam menyikapi laju perkembangan teknologi informasi ini. Mereka yang jam ngantornya via dunia maya lebih dari 8 jam sehari, sering mendapatkan teguran dari HRD nya gara-gara sering terlambat datang ke kantor. Dan gara-gara penertiban absensi ini kinerjanya dianggap buruk, meskipun semua pekerjaan yang di-handle-nya beres dan mencapai target yang lebih. Coba simak keluhan salah seorang teman, “Gue tuh baru tutup laptop jam 11 malem, tapi Blackberry gue on terus, bangun jam 5 pagi udah nyalain laptop lagi buat ngecek email dsb. Udah gitu pas jalan ngantor pun gue masih mikirin proposal launching product. Masak dinilai kinerja gue kurang bagus, gara-gara telat 15 menit?”. Nah lho.

Barangkali gambaran dalam tulisan ini bisa menjadi masukan sekaligus tantangan menarik bagi para konsultan perusahaan, para owner dan CEO, dan juga para ahli yang ada di HRD perusahaan. Bagaimana perusahaan bisa mengakomodir kebutuhan para profesionalnya dalam perubahan dunia kerja yang menjadi semakin cepat dan tanpa batas ruang dan waktu lagi ini. Mungkin perlu juga dipikirkan cara penilaian kinerja dengan sistem yang lebih baru dan canggih dalam menyikapi fenomena para ‘knowledge workers’ yang kesana-kemari bawa laptop di backpack-nya karena memang mereka ‘terpaksa’ masih harus bekerja setelah usai jam kantor di ruang-ruang publik seperti kafe & mal.