Monday, May 02, 2011

Kerja tanpa kantor




Sewaktu asyik ngopi di Starbuck, tiba-tiba datang 3 orang teman yang biasa kerja bareng tim saya kalau kita sedang produksi iklan TV. Mereka bertiga adalah pemilik sebuah production house yang cukup ternama di Jakarta. Sudah banyak produksi iklan yang mereka garap dan kebanyakan brand dengan nama besar semua. Akhirnya kita pun gabung di satu meja. Sama seperti saya, mereka pun langsung mengeluarkan laptop masing-masing dan mulai asyik browsing dengan memanfaatkan WiFi yang ada di kafe tsb.

Sebenarnya kalau ngomongin nongkrongnya sih biasa saja. Tetapi yang bikin nongkrong di Starbuck ini jadi menarik untuk diceritakan karena mereka bukan sekadar nongkrong, tapi sedang bekerja menggarap persiapan produksi sebuah iklan brand terkenal. Lho kok bisa? Inilah asyiknya kalau kita bisa memanfaatkan canggihnya teknologi terkini untuk memfasilitasi pekerjaan dan profesi kita. Canggihnya teknologi informasi & kemudahan akses internet secara perlahan tapi pasti memang berhasil menggeser paradigma lama tentang konsep bekerja.

Dulu, yang namanya bekerja itu kan dianalogikan harus ada ruangan kantornya, ada meja kerjanya, ada telpon, fax, komputer, tumpukan file, dsb. Saat ini, dengan maraknya koneksi internet di mana-mana, konsep bekerja untuk beberapa profesi nampaknya sudah tidak memerlukan kantor secara fisik lagi. Karena ngantornya bisa di mana saja [di rumah, kafe, mall, di lapangan, dsb], kapan saja, dan dengan siapa saja, asalkan masih ada handphone dan jaringan koneksi internetnya. Tentunya, ini akan banyak menghemat overhead cost perusahaan, karena bisa jadi tidak perlu menyediakan ruang kantor yang luas dan kelengkapannya, sekaligus juga bisa hemat listrik maupun biaya telpon dan fax.

Untuk orang macam saya yang susah berangkat ngantor pagi, jelas menguntungkan. Karena bisa berangkat ke tempat ‘ketemuan’ agak siangan setelah padatnya lalu lintas Jakarta mulai berkurang. Jadi nggak banyak buang waktu terjebak kemacetan yang akhir-akhir ini bikin frustasi warga Jakarta dan sekitarnya. Sehingga energy yang ada benar-benar dapat digunakan untuk full konsentrasi memikirkan dan menyelesaikan pekerjaan yang sedang digarap.

Memang, khususnya untuk profesi praktisi periklanan seperti saya, seharusnya tidak diperlukan kantor secara fisik lagi. Untuk bikin konsep kreatif iklan, tim kreatif bisa kerja sambil ngopi di Starbuck. Kita satu tim bisa berdiskusi sambil cari referensi gambar via internet. Kalau perlu menggali brief dari client pun bisa kita omongin by email atau malah chatting, maupun BBM-an via Blackberry yang lagi ngetrend. Kemudian bila konsep kreatif iklan sudah siap tinggal bikin janji untuk ‘ketemuan’ guna mempresentasikan kerjaan tsb. Malah kalau client-nya lagi sibuk dinas ke luar kota atau ke luar negeri, dan kerjaan harus segera dapat persetujuan kita bisa kirim by email, kemudian diskusi untuk masukan maupun koreksi bisa menggunakan fasilitas chatting atau email. Praktis kan.


Canggihnya teknologi informatika, selain bisa merubah konsep ngantor yang sebenarnya tidak memerlukan ruangan fisik lagi, juga nantinya akan merubah paradigma terkait dengan jam ngantor yang saat ini umum berlaku. Karena mereka yang memanfaatkan koneksi nirkabel ini secara tidak sadar jam ngantornya justru menjadi semakin panjang.

Fakta terkini, sejak maraknya jejaring sosial melalui Twitter, Facebook, maupun BBM-an melalui Blackberry, lalu lintas komunikasi pekerjaan justru menjadi semakin intens, mudah dan cepat, juga sudah menabrak aturan jam kantor konvensional eight to five [8.00-17-00]. Bayangkan saja beberapa teman yang bekerja di bidang marketing, usai sholat shubuh sudah harus ngecek email, menjawab BBM-an, lanjut dengan saat berangkat ke kantor juga disibukkan dengan urusan pekerjaan melalui Blackberry-nya. Begitu pula saat pulang kantor di mobil pun masih sibuk BBM-an [dengan timnya, supplier, jaringan distribusinya, agency iklannya, pihak media, dll.] untuk membahas pekerjaan launching produk yang menjadi tanggung jawabnya.

Menyikapi trend seperti ini seharusnya pihak perusahaan bersyukur, karena merekalah sejatinya yang paling diuntungkan. Kalau tadinya segala urusan pekerjaan hanya bisa diselesaikan di kantor dan hanya pada jam kantor, kini bisa di mana saja dan kapan saja karena ‘dunia ada dalam genggaman tangan’. Hanya meeting tertentu saja yang mungkin masih memerlukan kehadiran fisik dan tergantung dengan ruang kantor dan waktu yang telah disepakati.

Ironisnya, menurut beberapa teman yang curhat, banyak perusahaan yang justru masih berkutat dengan paradigma konvensional dalam menyikapi laju perkembangan teknologi informasi ini. Mereka yang jam ngantornya via dunia maya lebih dari 8 jam sehari, sering mendapatkan teguran dari HRD nya gara-gara sering terlambat datang ke kantor. Dan gara-gara penertiban absensi ini kinerjanya dianggap buruk, meskipun semua pekerjaan yang di-handle-nya beres dan mencapai target yang lebih. Coba simak keluhan salah seorang teman, “Gue tuh baru tutup laptop jam 11 malem, tapi Blackberry gue on terus, bangun jam 5 pagi udah nyalain laptop lagi buat ngecek email dsb. Udah gitu pas jalan ngantor pun gue masih mikirin proposal launching product. Masak dinilai kinerja gue kurang bagus, gara-gara telat 15 menit?”. Nah lho.

Barangkali gambaran dalam tulisan ini bisa menjadi masukan sekaligus tantangan menarik bagi para konsultan perusahaan, para owner dan CEO, dan juga para ahli yang ada di HRD perusahaan. Bagaimana perusahaan bisa mengakomodir kebutuhan para profesionalnya dalam perubahan dunia kerja yang menjadi semakin cepat dan tanpa batas ruang dan waktu lagi ini. Mungkin perlu juga dipikirkan cara penilaian kinerja dengan sistem yang lebih baru dan canggih dalam menyikapi fenomena para ‘knowledge workers’ yang kesana-kemari bawa laptop di backpack-nya karena memang mereka ‘terpaksa’ masih harus bekerja setelah usai jam kantor di ruang-ruang publik seperti kafe & mal.

0 komentar:

Post a Comment

Silakan tinggalkan pesan Anda.