Monday, December 17, 2007

Sepenggal cerita seputar Idul Adha

Tak terasa Hari Raya Idul Adha datang menjelang. Di mana kita sebagai umat Islam yang mampu secara ekonomi diwajibkan untuk ber-qurban.

By the way, ngomong-ngomong soal qurban, sejak tinggal di komplek saya [14 tahun] saya selalu sedih melihat daging qurban yang akhirnya menumpuk dan hingga sore belum tersalurkan kepada yang berhak. Tatkala saya tanyakan kepada panitia, katanya semua para penerima daging qurban yang ada di sekitar komplek sudah menerima semua. Yang sisa ini konon hendak disalurkan ke tempat lain, tetapi menunggu kordinasi dari pak ustadzs.

Pernah saya berkeliling ke komplek perumahan sebelah, dan juga yang ada di sekitar, hal serupa juga terjadi. Wuah, gimana nich? Rupanya, kalau di daerah Jabodetabek, ‘keberlimpahan’ seperti ini, bisa-bisa memang sering terjadi. Pernah di tahun berikutnya, saya usul ke panitia qurban agar, pemotongan hewan qurban tsb. dilakukan dalam beberapa hari kemudian. Niatnya, agar distribusinya bisa sampai kepada mereka yang berhak entah di mana. Mereka menjawab prakteknya akan sulit dilakukan karena tukang potongnya juga sulit untuk didatangkan lagi, transportasinya, dan ibu-ibu yang membantu membagi daging qurban juga maunya kerja seharian dan selesai. Atau kita serahkan saja ke panitia qurban nasional yang jangkauan distribusinya se-Indonesia. Jawab mereka, banyak dari pemilik hewan qurban yang tidak menyetujuinya. Ya wis lah!

Bukannya mau ngomongin masalah ikhlas nggak ikhlas berqurban, tapi saya lebih menyoroti masalah pendistribusian daging qurban tsb, yang menurut pengamatan saya kok nampak tidak ‘nyampe’ kepada yang berhak. Padahal di banyak desa di pelosok sana, seperti di Blitar Selatan, Trenggalek, atau entah di mana lagi, banyak kaum papa yang tak tersentuh dengan pembagian daging qurban di Hari Idul Adha ini. Sampai saat ini pun saya selalu masih terusik, dan memikirkan bagaimana agar mereka-mereka yang tinggal jauh di pelosok sana dapat ikut menikmati qurban.

Pernah di tahun 2002 lalu, karena kepingin qurban tsb. bisa ‘nyampe’ ke pelosok desa, saya beli sepasang kambing di Blitar dan saya titipkan ke mas Yanto, yg suaminya PRT almarhum mertua saya. Sistemnya adalah ‘maron’ atau bagi hasil, jadi setiap ada anak yang berjumlah genap kita bagi dua, kalau cuma satu ya buat dia. Nantinya, setiap tahun [Idul Adha] mas Yanto harus antar kambing jantan yang menjadi hak saya untuk dijadikan qurban di desa pelosok di Blitar sana. Jadi saya nggak perlu repot membeli kambing setiap datangnya Idul Adha.

Tapi ternyata matematika ternak kambing ini [yang harusnya sudah beranak pinak] nggak berjalan seperti yang diharapkan. Hingga Lebaran kemarin, saya ‘ngontrol’, jumlah kambingnya kok cuna ada tiga ekor, sepasang indukan dan anaknya satu ekor [yg jadi hak mas Yanto]. Berbagai alasan disampaikan oleh mas Yanto ini, katanya pernah beranak 4 tapi kena serangan penyakit dan mati semua, terus pernah beranak lagi 3, pas baru usia 2 minggu juga mati. Yang sekarang ini, tadinya beranak 4 tapi yang 3 ekor juga mati, jadi hanya bersisa satu ekor. Lho kok?

Saya pun hanya bisa menerima penjelasan tsb. apa adanya, namun dengan bertanya-tanya dalam hati. Tapi daripada menduga-duga yang nantinya malah berujung ke buruk sangka atau su-udzon, lebih baik saya ambil hikmahnya saja, dan tetap be positive thinking. Barangkali Allah SWT memang belum mengijinkan rencana & niat baik saya untuk ber-qurban di desa pelosok sana. Atau memang Allah SWT menghendaki saya ber-qurban hanya di seputaran Jabodetabek saja [yg dekat dengan tempat tinggal saya]. Karena bisa jadi memang masih banyak yang belum mendapatkan jatah qurban. Akhirnya, saya putuskan untuk tetap ber-qurban [‘patungan’ bertujuh beli Sapi] dan mempercayakannya ke pengurus musholla yang ada di komplek tempat tinggal saya.

So, sambil tetap niat sepenuh hati untuk menjalankan ibadah secara pasrah & ikhlas. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar…

Saya bersama seluruh keluarga besar mengucapkan Selamat Idul Adha. Semoga amal & ibadah kita semua diterima Allah SWT, dan juga mendapat ridho-Nya. Amin.

Saturday, December 15, 2007

Waktuku


Waktu, hari ini baru kusadari bahwa ternyata yang namanya waktu betul-betul begitu cepat berlalu. Rasanya [perasaan saya] baru saja memasuki tahun baru 2007, bulannya Januari, nggak terasa sudah berganti April, terus Agustus. Eh, masuk September [Ramadhan] terus nyambung Oktober [Idul Fitri], eh saat ini sudah masuk ke bulan Desember 2007 [Idul Adha]. Tidak lama lagi 2007 ketinggalan waktu. Dan kita sambut 2008.

Waktu pula yang menjadikan saya bertambah usia. Meski terasa dalam diri, kok kayaknya usia berapa saja rasanya sama [nggak ada perubahan gitu], seperti waktu masih muda ya? Padahal tak tahu kita berapa usia yang masih bersisa yang menjadi milik kita, karena waktu untuk kita adalah rahasia Allah semata. Lalu haruskah menyia-nyiakan sisa waktu yang ada. Logikanya, sudah seharusnya kita memanfaatkan waktu yang ada untuk segala aktivitas yang bermanfaat baik untuk diri kita dan juga orang lain [kemaslahalatan umat].

Waktulah yang mendadak membuat tercenung dan memaksaku merenung. Mengkilas balik, apa saja yang telah kuperbuat di waktu-waktu yang lalu. Terlintaslah semuanya di depan mata, segala aktivitas di tahun-tahun yang telah berlalu.. Dan waktu tiba-tiba membuka mata bahwa begitu mudahnya saya menyia-nyiakan waktu yang ada. Terbukti dengan begitu banyak rencana [action plan] yang tak terlaksana. Lagi-lagi ada rasa sesal kenapa begitu sering menunda dan menunda. Yang tersisa, deretan pertanyaan untuk diri pribadi. Kenapa begitu sedikit rencana yang telah ditata dapat terlaksana? Apa saja ya rencana yang tertunda? Kenapa ditunda kalau itu sudah masuk di dalam rencana? Berarti waktu yang ada nggak mencukupi? Nggak punya waktu? [Orang bijak bilang, yang merasa nggak punya waktu, berarti termasuk golongan yang tidak dapat mengatur & memanfaatkan waktu].

Waktu yang dimiliki semua orang jumlahnya sama. 24 jam sehari. Tapi dalam hal memanfaatkan waktu, ternyata masing-masing dari kita bisa berbeda caranya. Sehingga berbeda pula hasilnya. Ada yang selama kurun waktu tahun 2007 ini berhasil mencapai goal-goal yang spektakuler dari target yang telah dicanangkan. Tapi banyak juga yang merasa seperti masih jalan di tempat, meskipun waktu telah berlalu begitu cepat. Dan begitu mudahnya waktu disalahkan sebagai kambing hitam, “waktunya cepet banget berlalu”, “aku nggak punya waktu”, “waktunya mepet sich”, “nggak ada waktu lagi…”, “coba kalau masih ada waktu, pasti beres!”, “waktunya kurang tepat sich”, dan masih banyak lagi. Kenapa nggak kita coba untuk mencari kesalahan itu dari dalam diri kita sendiri yang memang kurang pintar me-manage waktu? Lalu berusaha untuk memperbaikinya di waktu-waktu yang akan datang.

Waktunya tiba pula bagi kita semua untuk bersyukur. Begitu banyak sebenarnya yang telah kita nikmati selama perjalanan hidup ini, Bersyukur pula atas segala hal yang telah berhasil diraih selama ini bersama sang waktu. Prestasi apapun yang telah dicapai setidaknya menjadikan kita lebih arif dalam hal memaknainya. Setidaknya seiring berjalannya sang waktu, sekecil apapun, pasti ada hal-hal yang telah kita perbuat yang bermanfaat untuk kemajuan diri kita pribadi khususnya, dan masyarakat umumnya.

Waktu juga begitu penting bagi mereka yang menamakan diri sebagai calon pengusaha. Karena biasanya, untuk memulai take action buka usaha, waktu yang tepat juga menjadi moment penting. Tatkala bertanya kapan harus mulai take action, jawabannya pun sudah pasti nggak ada waktu yang tepat selain ‘sekarang juga’. Konon, berdasarkan pengalaman, kalau tidak segera memulai usaha ‘sekarang juga’, sampai kapanpun nggak bakalan pernah ‘take action’. Akhirnya saat waktu telah berlalu, barulah muncul kesadaran di kemudian waktu, kenapa ya kok nggak memulai pada waktu itu? Bagi yang telah menjadi pengusaha, waktu juga menjadi penting tatkala hendak memanfaatkan berbagai peluang yang ada. Jangan sampai gara-gara tidak mampu mengatur waktu, peluang usaha yang hadir di depan mata, berlalu begitu saja bersama waktu.

Waktu yang tepat, bagi yang belum memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, segeralah membuat rencana. Seperti apakah tujuan hidup masa depan yang Anda impikan? Jangan sampai untuk diri kita sendiri, kita lalai membuat perencanaan 1 tahun ke depan, 5 tahun ke depan dan juga 10 tahun dari sekarang. Mau diarahkan kemanakah jalan hidup kita? Berusahalah untuk memaksimalkan waktu yang ada dengan seksama mewujudkan segala rencana hidup Anda.. Karena seiring bertambahnya usia, kalau tetap bercita-cita mulia untuk menjadi pengusaha, tetapi belum juga take action dan punya usaha, Anda akan semakin berpacu dengan waktu. Sadarilah yang namanya waktu tidak pernah bisa diulang kembali.

Waktu, kok rasanya nggak ada habisnya ya kalau kita bahas lebih jauh lagi. Lha nanti waktunya habis hanya untuk bikin tulisan ini. Padahal kan sudah berkomitmen untuk memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Daripada kehilangan waktu untuk aktifitas yang lain, lebih baik saya sudahi dulu diskusi tentang waktu ini. Takut ah... kan detik demi detik, waktu selalu berlalu…dan berlalu…

Monday, December 10, 2007

Dampak e-mail masuk desa

Mau tahu nggak dampak dari internet masuk desa yang beberapa waktu lalu iklannya banyak ditayangin oleh TV swasta di Indonesia. Manfaatnya memang begitu terasa sebagai ajang komunikasi yang cepat, tapi ternyata bagaikan 2 sisi mata pedang, ada sisi positif dan ada sisi negatifnya.

Karena sudah ‘melek’ internet, yang namanya e-mail juga menjadi makanan sehari-hari di inbox penduduk sebuah desa di daerah pegunungan Temanggung yang sudah terbiasa berinternet ria.

Ceritanya, Sarino yang tukang kayu dari daerah pegunungan Temanggung tadi dapet kerjaan borongan bikin mebel di sebuah hotel berbintang di Yogyakarta.

Sarino berangkat duluan diantar istrinya yang setia Watimah ke terminal bus, dengan janji besoknya Watimah bakal menyusul. Sesampainya di Yogya, karena sudah biasa berkomunikasi lewat e-mail, Sarino langsung mampir ke warnet di seberang hotel, ia segera kirim e-mail ke istrinya yang ada di Temanggung.

Di lain tempat, namun masih juga di daerah pegunungan Temanggung juga, Qatimah seorang istri yang sedang berduka , baru saja mengantarkan jenazah suaminya Parno ke pemakaman. Selesai dari pemakaman Qatimah langsung pulang ke rumah, lantas mau ngecek e-mail, siapa tahu di inbox banyak berita dari sanak saudaranya terkait dengan ‘kepergian’ sang suami yang harus segera di- replay- nya.

Saat buka e-mail, Qatimah menjerit lalu pingsan… Anaknya yang juga ‘melek’ internet kaget, lalu ikut membaca isi e-mail tsb, ia pun mendadak ikut menjerit heran pula.

Ternyata pangkal persoalannya, si Sarino [tukang kayu] yang kirim e-mail dari Yogya salah memencet tombol keyboard, kirim e-mail ke istrinya mestinya watimah@temanggung.co.id salah pencet menjadi qatimah@temanggung.co.id . Maklum jarinya tukang kayu kan segede jempol semuanya, tombol w dan q kan dempetan terjadilah salah tekan tsb. Nah, lho.

Biar nggak penasaran, inilah isi e-mail Sarino yang bikin keluarga Qatimah histeris sampai pingsan.

‘Imah isteriku tercinta,
terima kasih banget yo, sudah mengantarkan aku pergi, tadi pagi,
aku sudah sampai dengan selamat, di sini aku diterima dengan baik,
aku juga senang banget karena banyak teman-teman lama yang sudah duluan sampai,
katanya kamu akan nyusul besok, namamu sudah aku daftarkan di sini,
aku tunggu ya, supaya kita bisa bersama lagi di sini.
oh, ya ternyata di sini lumayan lho panasnya…
salam kangen
suamimu, mas-No.