Tak terasa Hari Raya Idul Adha datang menjelang. Di mana kita sebagai umat Islam yang mampu secara ekonomi diwajibkan untuk ber-qurban.
By the way, ngomong-ngomong soal qurban, sejak tinggal di komplek saya [14 tahun] saya selalu sedih melihat daging qurban yang akhirnya menumpuk dan hingga sore belum tersalurkan kepada yang berhak. Tatkala saya tanyakan kepada panitia, katanya semua para penerima daging qurban yang ada di sekitar komplek sudah menerima semua. Yang sisa ini konon hendak disalurkan ke tempat lain, tetapi menunggu kordinasi dari pak ustadzs.
Pernah saya berkeliling ke komplek perumahan sebelah, dan juga yang ada di sekitar, hal serupa juga terjadi. Wuah, gimana nich? Rupanya, kalau di daerah Jabodetabek, ‘keberlimpahan’ seperti ini, bisa-bisa memang sering terjadi. Pernah di tahun berikutnya, saya usul ke panitia qurban agar, pemotongan hewan qurban tsb. dilakukan dalam beberapa hari kemudian. Niatnya, agar distribusinya bisa sampai kepada mereka yang berhak entah di mana. Mereka menjawab prakteknya akan sulit dilakukan karena tukang potongnya juga sulit untuk didatangkan lagi, transportasinya, dan ibu-ibu yang membantu membagi daging qurban juga maunya kerja seharian dan selesai. Atau kita serahkan saja ke panitia qurban nasional yang jangkauan distribusinya se-Indonesia. Jawab mereka, banyak dari pemilik hewan qurban yang tidak menyetujuinya. Ya wis lah!
Bukannya mau ngomongin masalah ikhlas nggak ikhlas berqurban, tapi saya lebih menyoroti masalah pendistribusian daging qurban tsb, yang menurut pengamatan saya kok nampak tidak ‘nyampe’ kepada yang berhak. Padahal di banyak desa di pelosok sana, seperti di Blitar Selatan, Trenggalek, atau entah di mana lagi, banyak kaum papa yang tak tersentuh dengan pembagian daging qurban di Hari Idul Adha ini. Sampai saat ini pun saya selalu masih terusik, dan memikirkan bagaimana agar mereka-mereka yang tinggal jauh di pelosok sana dapat ikut menikmati qurban.
Pernah di tahun 2002 lalu, karena kepingin qurban tsb. bisa ‘nyampe’ ke pelosok desa, saya beli sepasang kambing di Blitar dan saya titipkan ke mas Yanto, yg suaminya PRT almarhum mertua saya. Sistemnya adalah ‘maron’ atau bagi hasil, jadi setiap ada anak yang berjumlah genap kita bagi dua, kalau cuma satu ya buat dia. Nantinya, setiap tahun [Idul Adha] mas Yanto harus antar kambing jantan yang menjadi hak saya untuk dijadikan qurban di desa pelosok di Blitar sana. Jadi saya nggak perlu repot membeli kambing setiap datangnya Idul Adha.
Tapi ternyata matematika ternak kambing ini [yang harusnya sudah beranak pinak] nggak berjalan seperti yang diharapkan. Hingga Lebaran kemarin, saya ‘ngontrol’, jumlah kambingnya kok cuna ada tiga ekor, sepasang indukan dan anaknya satu ekor [yg jadi hak mas Yanto]. Berbagai alasan disampaikan oleh mas Yanto ini, katanya pernah beranak 4 tapi kena serangan penyakit dan mati semua, terus pernah beranak lagi 3, pas baru usia 2 minggu juga mati. Yang sekarang ini, tadinya beranak 4 tapi yang 3 ekor juga mati, jadi hanya bersisa satu ekor. Lho kok?
Saya pun hanya bisa menerima penjelasan tsb. apa adanya, namun dengan bertanya-tanya dalam hati. Tapi daripada menduga-duga yang nantinya malah berujung ke buruk sangka atau su-udzon, lebih baik saya ambil hikmahnya saja, dan tetap be positive thinking. Barangkali Allah SWT memang belum mengijinkan rencana & niat baik saya untuk ber-qurban di desa pelosok sana. Atau memang Allah SWT menghendaki saya ber-qurban hanya di seputaran Jabodetabek saja [yg dekat dengan tempat tinggal saya]. Karena bisa jadi memang masih banyak yang belum mendapatkan jatah qurban. Akhirnya, saya putuskan untuk tetap ber-qurban [‘patungan’ bertujuh beli Sapi] dan mempercayakannya ke pengurus musholla yang ada di komplek tempat tinggal saya.
So, sambil tetap niat sepenuh hati untuk menjalankan ibadah secara pasrah & ikhlas. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar…
Saya bersama seluruh keluarga besar mengucapkan Selamat Idul Adha. Semoga amal & ibadah kita semua diterima Allah SWT, dan juga mendapat ridho-Nya. Amin.
0 komentar:
Post a Comment
Silakan tinggalkan pesan Anda.