Monday, December 17, 2007

Sepenggal cerita seputar Idul Adha

Tak terasa Hari Raya Idul Adha datang menjelang. Di mana kita sebagai umat Islam yang mampu secara ekonomi diwajibkan untuk ber-qurban.

By the way, ngomong-ngomong soal qurban, sejak tinggal di komplek saya [14 tahun] saya selalu sedih melihat daging qurban yang akhirnya menumpuk dan hingga sore belum tersalurkan kepada yang berhak. Tatkala saya tanyakan kepada panitia, katanya semua para penerima daging qurban yang ada di sekitar komplek sudah menerima semua. Yang sisa ini konon hendak disalurkan ke tempat lain, tetapi menunggu kordinasi dari pak ustadzs.

Pernah saya berkeliling ke komplek perumahan sebelah, dan juga yang ada di sekitar, hal serupa juga terjadi. Wuah, gimana nich? Rupanya, kalau di daerah Jabodetabek, ‘keberlimpahan’ seperti ini, bisa-bisa memang sering terjadi. Pernah di tahun berikutnya, saya usul ke panitia qurban agar, pemotongan hewan qurban tsb. dilakukan dalam beberapa hari kemudian. Niatnya, agar distribusinya bisa sampai kepada mereka yang berhak entah di mana. Mereka menjawab prakteknya akan sulit dilakukan karena tukang potongnya juga sulit untuk didatangkan lagi, transportasinya, dan ibu-ibu yang membantu membagi daging qurban juga maunya kerja seharian dan selesai. Atau kita serahkan saja ke panitia qurban nasional yang jangkauan distribusinya se-Indonesia. Jawab mereka, banyak dari pemilik hewan qurban yang tidak menyetujuinya. Ya wis lah!

Bukannya mau ngomongin masalah ikhlas nggak ikhlas berqurban, tapi saya lebih menyoroti masalah pendistribusian daging qurban tsb, yang menurut pengamatan saya kok nampak tidak ‘nyampe’ kepada yang berhak. Padahal di banyak desa di pelosok sana, seperti di Blitar Selatan, Trenggalek, atau entah di mana lagi, banyak kaum papa yang tak tersentuh dengan pembagian daging qurban di Hari Idul Adha ini. Sampai saat ini pun saya selalu masih terusik, dan memikirkan bagaimana agar mereka-mereka yang tinggal jauh di pelosok sana dapat ikut menikmati qurban.

Pernah di tahun 2002 lalu, karena kepingin qurban tsb. bisa ‘nyampe’ ke pelosok desa, saya beli sepasang kambing di Blitar dan saya titipkan ke mas Yanto, yg suaminya PRT almarhum mertua saya. Sistemnya adalah ‘maron’ atau bagi hasil, jadi setiap ada anak yang berjumlah genap kita bagi dua, kalau cuma satu ya buat dia. Nantinya, setiap tahun [Idul Adha] mas Yanto harus antar kambing jantan yang menjadi hak saya untuk dijadikan qurban di desa pelosok di Blitar sana. Jadi saya nggak perlu repot membeli kambing setiap datangnya Idul Adha.

Tapi ternyata matematika ternak kambing ini [yang harusnya sudah beranak pinak] nggak berjalan seperti yang diharapkan. Hingga Lebaran kemarin, saya ‘ngontrol’, jumlah kambingnya kok cuna ada tiga ekor, sepasang indukan dan anaknya satu ekor [yg jadi hak mas Yanto]. Berbagai alasan disampaikan oleh mas Yanto ini, katanya pernah beranak 4 tapi kena serangan penyakit dan mati semua, terus pernah beranak lagi 3, pas baru usia 2 minggu juga mati. Yang sekarang ini, tadinya beranak 4 tapi yang 3 ekor juga mati, jadi hanya bersisa satu ekor. Lho kok?

Saya pun hanya bisa menerima penjelasan tsb. apa adanya, namun dengan bertanya-tanya dalam hati. Tapi daripada menduga-duga yang nantinya malah berujung ke buruk sangka atau su-udzon, lebih baik saya ambil hikmahnya saja, dan tetap be positive thinking. Barangkali Allah SWT memang belum mengijinkan rencana & niat baik saya untuk ber-qurban di desa pelosok sana. Atau memang Allah SWT menghendaki saya ber-qurban hanya di seputaran Jabodetabek saja [yg dekat dengan tempat tinggal saya]. Karena bisa jadi memang masih banyak yang belum mendapatkan jatah qurban. Akhirnya, saya putuskan untuk tetap ber-qurban [‘patungan’ bertujuh beli Sapi] dan mempercayakannya ke pengurus musholla yang ada di komplek tempat tinggal saya.

So, sambil tetap niat sepenuh hati untuk menjalankan ibadah secara pasrah & ikhlas. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar…

Saya bersama seluruh keluarga besar mengucapkan Selamat Idul Adha. Semoga amal & ibadah kita semua diterima Allah SWT, dan juga mendapat ridho-Nya. Amin.

Saturday, December 15, 2007

Waktuku


Waktu, hari ini baru kusadari bahwa ternyata yang namanya waktu betul-betul begitu cepat berlalu. Rasanya [perasaan saya] baru saja memasuki tahun baru 2007, bulannya Januari, nggak terasa sudah berganti April, terus Agustus. Eh, masuk September [Ramadhan] terus nyambung Oktober [Idul Fitri], eh saat ini sudah masuk ke bulan Desember 2007 [Idul Adha]. Tidak lama lagi 2007 ketinggalan waktu. Dan kita sambut 2008.

Waktu pula yang menjadikan saya bertambah usia. Meski terasa dalam diri, kok kayaknya usia berapa saja rasanya sama [nggak ada perubahan gitu], seperti waktu masih muda ya? Padahal tak tahu kita berapa usia yang masih bersisa yang menjadi milik kita, karena waktu untuk kita adalah rahasia Allah semata. Lalu haruskah menyia-nyiakan sisa waktu yang ada. Logikanya, sudah seharusnya kita memanfaatkan waktu yang ada untuk segala aktivitas yang bermanfaat baik untuk diri kita dan juga orang lain [kemaslahalatan umat].

Waktulah yang mendadak membuat tercenung dan memaksaku merenung. Mengkilas balik, apa saja yang telah kuperbuat di waktu-waktu yang lalu. Terlintaslah semuanya di depan mata, segala aktivitas di tahun-tahun yang telah berlalu.. Dan waktu tiba-tiba membuka mata bahwa begitu mudahnya saya menyia-nyiakan waktu yang ada. Terbukti dengan begitu banyak rencana [action plan] yang tak terlaksana. Lagi-lagi ada rasa sesal kenapa begitu sering menunda dan menunda. Yang tersisa, deretan pertanyaan untuk diri pribadi. Kenapa begitu sedikit rencana yang telah ditata dapat terlaksana? Apa saja ya rencana yang tertunda? Kenapa ditunda kalau itu sudah masuk di dalam rencana? Berarti waktu yang ada nggak mencukupi? Nggak punya waktu? [Orang bijak bilang, yang merasa nggak punya waktu, berarti termasuk golongan yang tidak dapat mengatur & memanfaatkan waktu].

Waktu yang dimiliki semua orang jumlahnya sama. 24 jam sehari. Tapi dalam hal memanfaatkan waktu, ternyata masing-masing dari kita bisa berbeda caranya. Sehingga berbeda pula hasilnya. Ada yang selama kurun waktu tahun 2007 ini berhasil mencapai goal-goal yang spektakuler dari target yang telah dicanangkan. Tapi banyak juga yang merasa seperti masih jalan di tempat, meskipun waktu telah berlalu begitu cepat. Dan begitu mudahnya waktu disalahkan sebagai kambing hitam, “waktunya cepet banget berlalu”, “aku nggak punya waktu”, “waktunya mepet sich”, “nggak ada waktu lagi…”, “coba kalau masih ada waktu, pasti beres!”, “waktunya kurang tepat sich”, dan masih banyak lagi. Kenapa nggak kita coba untuk mencari kesalahan itu dari dalam diri kita sendiri yang memang kurang pintar me-manage waktu? Lalu berusaha untuk memperbaikinya di waktu-waktu yang akan datang.

Waktunya tiba pula bagi kita semua untuk bersyukur. Begitu banyak sebenarnya yang telah kita nikmati selama perjalanan hidup ini, Bersyukur pula atas segala hal yang telah berhasil diraih selama ini bersama sang waktu. Prestasi apapun yang telah dicapai setidaknya menjadikan kita lebih arif dalam hal memaknainya. Setidaknya seiring berjalannya sang waktu, sekecil apapun, pasti ada hal-hal yang telah kita perbuat yang bermanfaat untuk kemajuan diri kita pribadi khususnya, dan masyarakat umumnya.

Waktu juga begitu penting bagi mereka yang menamakan diri sebagai calon pengusaha. Karena biasanya, untuk memulai take action buka usaha, waktu yang tepat juga menjadi moment penting. Tatkala bertanya kapan harus mulai take action, jawabannya pun sudah pasti nggak ada waktu yang tepat selain ‘sekarang juga’. Konon, berdasarkan pengalaman, kalau tidak segera memulai usaha ‘sekarang juga’, sampai kapanpun nggak bakalan pernah ‘take action’. Akhirnya saat waktu telah berlalu, barulah muncul kesadaran di kemudian waktu, kenapa ya kok nggak memulai pada waktu itu? Bagi yang telah menjadi pengusaha, waktu juga menjadi penting tatkala hendak memanfaatkan berbagai peluang yang ada. Jangan sampai gara-gara tidak mampu mengatur waktu, peluang usaha yang hadir di depan mata, berlalu begitu saja bersama waktu.

Waktu yang tepat, bagi yang belum memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, segeralah membuat rencana. Seperti apakah tujuan hidup masa depan yang Anda impikan? Jangan sampai untuk diri kita sendiri, kita lalai membuat perencanaan 1 tahun ke depan, 5 tahun ke depan dan juga 10 tahun dari sekarang. Mau diarahkan kemanakah jalan hidup kita? Berusahalah untuk memaksimalkan waktu yang ada dengan seksama mewujudkan segala rencana hidup Anda.. Karena seiring bertambahnya usia, kalau tetap bercita-cita mulia untuk menjadi pengusaha, tetapi belum juga take action dan punya usaha, Anda akan semakin berpacu dengan waktu. Sadarilah yang namanya waktu tidak pernah bisa diulang kembali.

Waktu, kok rasanya nggak ada habisnya ya kalau kita bahas lebih jauh lagi. Lha nanti waktunya habis hanya untuk bikin tulisan ini. Padahal kan sudah berkomitmen untuk memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Daripada kehilangan waktu untuk aktifitas yang lain, lebih baik saya sudahi dulu diskusi tentang waktu ini. Takut ah... kan detik demi detik, waktu selalu berlalu…dan berlalu…

Monday, December 10, 2007

Dampak e-mail masuk desa

Mau tahu nggak dampak dari internet masuk desa yang beberapa waktu lalu iklannya banyak ditayangin oleh TV swasta di Indonesia. Manfaatnya memang begitu terasa sebagai ajang komunikasi yang cepat, tapi ternyata bagaikan 2 sisi mata pedang, ada sisi positif dan ada sisi negatifnya.

Karena sudah ‘melek’ internet, yang namanya e-mail juga menjadi makanan sehari-hari di inbox penduduk sebuah desa di daerah pegunungan Temanggung yang sudah terbiasa berinternet ria.

Ceritanya, Sarino yang tukang kayu dari daerah pegunungan Temanggung tadi dapet kerjaan borongan bikin mebel di sebuah hotel berbintang di Yogyakarta.

Sarino berangkat duluan diantar istrinya yang setia Watimah ke terminal bus, dengan janji besoknya Watimah bakal menyusul. Sesampainya di Yogya, karena sudah biasa berkomunikasi lewat e-mail, Sarino langsung mampir ke warnet di seberang hotel, ia segera kirim e-mail ke istrinya yang ada di Temanggung.

Di lain tempat, namun masih juga di daerah pegunungan Temanggung juga, Qatimah seorang istri yang sedang berduka , baru saja mengantarkan jenazah suaminya Parno ke pemakaman. Selesai dari pemakaman Qatimah langsung pulang ke rumah, lantas mau ngecek e-mail, siapa tahu di inbox banyak berita dari sanak saudaranya terkait dengan ‘kepergian’ sang suami yang harus segera di- replay- nya.

Saat buka e-mail, Qatimah menjerit lalu pingsan… Anaknya yang juga ‘melek’ internet kaget, lalu ikut membaca isi e-mail tsb, ia pun mendadak ikut menjerit heran pula.

Ternyata pangkal persoalannya, si Sarino [tukang kayu] yang kirim e-mail dari Yogya salah memencet tombol keyboard, kirim e-mail ke istrinya mestinya watimah@temanggung.co.id salah pencet menjadi qatimah@temanggung.co.id . Maklum jarinya tukang kayu kan segede jempol semuanya, tombol w dan q kan dempetan terjadilah salah tekan tsb. Nah, lho.

Biar nggak penasaran, inilah isi e-mail Sarino yang bikin keluarga Qatimah histeris sampai pingsan.

‘Imah isteriku tercinta,
terima kasih banget yo, sudah mengantarkan aku pergi, tadi pagi,
aku sudah sampai dengan selamat, di sini aku diterima dengan baik,
aku juga senang banget karena banyak teman-teman lama yang sudah duluan sampai,
katanya kamu akan nyusul besok, namamu sudah aku daftarkan di sini,
aku tunggu ya, supaya kita bisa bersama lagi di sini.
oh, ya ternyata di sini lumayan lho panasnya…
salam kangen
suamimu, mas-No.

Wednesday, November 28, 2007

In Memorian 'harjo' Sigit Joko Pangestu


[sebuah catatan yang terlintas]


Rabu, 21 November 2007 yang lalu salah seorang teman bermain waktu kecil di PG Soedhono Madiun telah dipanggil oleh Allah SWT di Tegal. Konon dikarenakan sakit hipertensi. Saya & Kel. Ikut berduka cita yang sedalam-dalamnya, semoga arwah temen kecil kami sewaktu di Madiun ini diterima di sisi-Nya, dan semoga keluarga yang ditinggalkannya diberi ketabahan.

Berita duka ini saya dapatkan dari Antok Soemartono yang berdomisili di Yogya. Sayangnya temen-temen lain ternyata juga tak ada yang tahu tentang berita ini. Maklum sejak lulus SMA kami semua, temen sepermainan waktu kecil, telah berpencar untuk kuliah di kota-kota besar yang ada di Indonesia untuk mengejar cita-cita & mencari masa depan yang baik. Mungkin terakhir bertemu dengan Sigit ini ya ketika saya masih kuliah di Surabaya dan sering mondar-mandir ke Yogya. Karena saat itu Sigit atau kita sering memanggilnya Harjo Sigit kuliah di Yogya. Begitulah. Lebih dari 20 tahun saya tak mendengar khabarnya lagi.

Di komplek tempat tinggal kami waktu kecil dulu, memang kami sudah seperti keluarga. Yang sampai saat ini masih terlintas dalam ingatan saya, Harjo Sigit ini dulu adalah kipper terbaik team sepakbola anak-anak PG Soedhono. Dan saat beranjak dewasa, olah raga kami memang beralih ke Tennis. Dan Harjo Sigit juga termasuk petenis yang handal turut mewakili PG Soedhono bila bertanding dengan PG-PG lain. Sigit punya keistimewaan kedua tangannya [kiri/kanan oke] mampu memegang raket dengan sama baiknya. Di grup musik, Sigit juga punya andil untuk kami, karena dia juga seorang drummer yang cukup handal.

Masih banyak lagi kenangan-kenangan masa kecil yang sebenarnya ingin saya ceritakan. Tapi yang saya masih ingat dan saya merasa bersalah pada Harjo Sigit waktu itu adalah ketika kami begadang di Gedung Pertemuan PG Soedhono. Saat itu kami selesai nge-band, nyambung dengan bermain billiard. Saat asyiik main billiard, ternyata Harjo Sigit tertidur di tempat gamelan [kira-kira jam 1 malam]. Yang namanya jiwa remaja, saat itu saya ‘kerjain’ dia dengan mengguyurnya dengan air segayung. Sambil kaget, terbangunlah ia. Kami pun tertawa bersama, maklum yang namanya masih ABG, kalau bias ngerjain temen kan kayaknya sukses banget. Pada waktu itu, di antara kami [remaja PG Soedhono] kalau lagi begadang ada yang tertidur ya wajib dikerjain. Eh, ternyata keesokan harinya Harjo Sigit sakit ‘masuk angin’ dan tidak masuk sekolah. Ada rasa sesal saat itu. Sigit, maaf ya… Selamat jalan friend!

Lepas dari kenangan masa kecil tsb, kepergian Harjo Sigit juga tiba-tiba menyadarkan saya dan beberapa teman lain bahwa ternyata kami semua saat ini telah menjadi bapak-bapak yang berusia kepala 4. Totok dan Andi yang saat saya khabari sedang ada urusan bisnis di Banjarmasin pun terkaget-kaget dan menyadari pula bahwa kita telah tua. Mereka berdua pun punya keinginan untuk setahun sekali minimal ada ‘kumpul-kumpul’ alumni ‘bocah’ PG Soedhono. Tempatnya terserah, boleh di mana saja. Mumpung masih ada umur katanya. Mudah-mudahan rencana besar ini dapat terwujud.

Inilah sedikit pengantar dari saya seputar kepergian teman masa kecil kami semasa di PG Soedhono Madiun. Semoga di lain waktu saya bias menulis kenangan-kenangan indah saat kami kecil dulu bermain di bawah pohon asem nan rindang dan diiringi musik desiran jajarn pohon cemara yang mengelilingi jalanan komplek PG Soedhono. Bukankah masa lalu itu memang perlu dikenang?

Silakan temen-temen menganggapinya atau mungkin kepingin sharing cerita-cerita lain dengan menuliskan komentarnya, your comments please!

Sayang anak... sayang anak...


Menyikapi anak-anak sebagai target market

Orang tua mana sich yang gak sayang anak? Saya yakin sebagai orang tua yang sayang anak, pasti selalu berusaha untuk menyenangkan buah hatinya. Namun sadarkah kita, rasa sayang kita terhadap anak ini ternyata menjadi salah satu bahan pertimbangan utama bagi sebagian produsen yang memang sengaja menyasar anak-anak sebagai target market-nya.

Contoh paling gampang, yang terjadi dalam keseharian kita, begitu ada suara tet tot- tet tot tukang balon, anak pun langsung merengek untuk minta dibelikan. Tukang balon pergi, terdengar lagi, suara penjual es krim keliling dengan musiknya yang khas, anak-anak pun langsung merengek lagi. Tidak lama kemudian tukang odong-odong yang berkeliling sambil memperdengarkan lagu anak-anak.

Begitu seterusnya, dalam satu hari kalau dihitung bisa ada puluhan pedagang keliling di sekitar rumah kita yang target marketnya adalah anak-anak. Pesan atau ‘jualan’ mereka pun secara langsung dapat ditangkap oleh anak-anak, karena langsung ada action yaitu rengekan anak-anak untuk dibelikan. Sama halnya, tatkala kita berada di Mall, di terminal, di stasiun, di kereta, di bus, di halte, begitu banyak pedagang yang mebidik anak-anak sebagai target market. Pastinya Anda semua sering mendengar pedagang yang menjajakan dagangannya secara persuasif “sayang anak… sayang anak…”

Dari TV yang ditonton pun ada ratusan pesan iklan dari produk yang diperuntukkan anak-anak memborbardir setiap harinya. Mulai dari snack, permen, susu, vitamin, suplemen, shampoo, minuman ringan, sepatu, sandal, pakaian, tempat hiburan, dsb. Dan hebatnya, pesan iklan yang sering mereka dengar ternyata bener-bener ‘nancep’ di kepala anak-anak.

Coba, ajak anak-anak ke Indomart terdekat, dan biarkan mereka ambil yang mereka mau, pastinya yang akan diambil adalah produk-produk yang iklannya telah tertanam secara tidak sadar di kepala mereka. Artinya, tugas iklan sebagai penyampai pesan ke target yang diinginkan si produsen betul-betul sampai, dan si target pun ingin membelinya tatkala melihat produknya ada di depan mata..

Namun seringkali, banyak iklan yang targetnya bukan anak-anak bias dan menyasar ke anak-anak. Ini yang harus kita waspadai bersama. Contoh paling gampang ya iklan hand-phone yang seringkali membuat mereka sebentar-sebentar minta untuk mengganti hand-phone -nya dengan.model keluaran terbaru. Kalau sudah begini sebagai orang tua, kita harus mampu memberikan pencerahan untuk mereka.

Dari paparan di atas, secara tidak kita sadari ternyata anak-anak usia 4 hingga 13 tahun, saat ini sudah mulai dianggap sebagai konsumen yang prospektif dan potensial. Dan ternyata yang namanya market dengan segmentasi khusus anak-anak itu ada dan besar sekali.

Memangnya anak-anak punya uang untuk membeli itu semua, kok dianggap sebagai target market yang ‘empuk’?

Jangan salah, yang namanya anak-anak itu ternyata mampu mempengaruhi orang tuanya [ibunya] untuk membeli yang mereka mau [ingat, sayang anak… sayang anak]. Selain itu, biasanya, anak-anak kalau menginginkan sesuatu akan membelanjakan seluruh uang yang dimilikinya, bahkan rela memecah ‘celengan’-nya.

Nah berbahagialah bagi mereka yang telah memiliki usaha dengan target market anak-anak. Berarti Anda telah berada di jalur yang potensial. Tinggal bagaimana belajar dari perilaku anak-anak agar mampu menciptakan terobosan-terobosan baru tatkala menjual produk Anda ke anak-anak yang menjadi target market.

Dan yang juga penting untuk diperhatikan, produk yang Anda jual harus mampu menyentuh emosi dan tataran psikologis si Ibu. Setidaknya ibu harus merasa bahwa produk yang ditawarkan tsb memang pantas dibeli. Karena, pada kenyataanya ibulah yang memutuskan produk tsb. layak dikonsumsi atau dipakai oleh anak-anaknya.

Selebihnya, produk yang Anda tawarkan harus dapat menjamin kesehatan, keselamatan, bikin anak-anak jadi lebih cakep, dapat membantu mereka tambah pintar, dapat menjadikan mereka happy. Karena hampir semua ibu selalu mendambakan anaknya tumbuh pintar, sukses, dan juga happy.

Ingat, tatkala seorang ibu membelikan pakaian yang bagus, makanan dan minuman yang sehat, mainan yang mendidik, bacaan yang menambah wawasan, dsb. ia akan merasa telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagi anak-anaknya sebagai curahan kasih sayangnya.

Adakah pendapat lain yang bisa kita sharing dan diskusikan bersama?

Tuesday, October 30, 2007

Njelimetnya kata 'maaf'

Saya yakin, kata yang paling banyak digunakan pada ‘Lebaran season’ adalah kata ‘maaf’. Bayangkan, setelah orang tua dan keluarga terdekat kita … setiap kali ketemu dengan temen, saudara, tetangga, kenalan, bahkan orang yang baru kita kenal pun pasti kata ‘maaf’ ini yang bakal terucap. Belum lagi yang diucap lewat telepon, dikirim via SMS, dan e-mail. Terpikir nggak berapa keuntungan yang diraih oleh para operator seluler dengan kata ‘maaf’ ini? Dahsyat kan!

Kalau direnungkan lebih jauh, sebenarnya masih bermakna nggak sih kata ‘maaf’ ini? Karena begitu mudahnya kita mengumbar kata ‘maaf’ ini. Seolah tersirat, begitu gampang pula kita berbuat salah kepada orang lain. Apa nggak kesannya malah klise belaka? Atau memang sekadar ritual saja. Karena di bulan ini memang semua orang aktif mengobral kata ‘maaf’. Lha berarti kita cuma ikut-ikutan aja dong. Nah lho, kalau cuma ikut-ikutan kata ‘maaf’ yang terucap nggak dari hati dong. Kalau ‘nggak dari hati berarti permohonan ‘maaf’nya nggak tulus jadinya… wuah gawat!

Padahal untuk memohon maaf, kita kan harus sadar sepenuhnya bahwa kita pernah berbuat salah atau pernah berbuat yang menyakiti orang. Karena kalau kita minta maaf kepada seseorang berarti ada tersirat makna bahwa kita sungguh-sungguh menyesali apa yang telah kita perbuat, dan berjanji dalam hati untuk tidak mengulanginya lagi. Lalu benarkah kita telah berbuat salah atau pernah menyakiti ratusan orang atau bahkan ribuan orang yang telah kita kirimi kata ‘maaf’? Pusiiing lah kalau dipikirin sampai njelimet begini.

Begitu pula kepada teman-teman yang sering berkunjung ke blog ini, haruskah hamba memohon maaf kepada Anda semua? Salah apa ya daku? Paling-paling kalau saya menyadari kesalahan saya, ya sebatas saya sudah lama tidak meng-update blog ini. Tapi kembali lagi, apakah hal ini bisa dianggap kesalahan saya kepada para pembaca blog ini? Wong ini blog saya kok… jadi ya suka-suka gue dong… mau saya update atau nggak? Betul nggak?

Kalau terus saya pikirin, saya jadi tambah bingung… bagaimana saya harus minta maaf, kan saya nggak tahu salah saya? Tapi daripada terus-terusan mikir pakai akal sehat malah ngaco jadinya terus malah jadi capek sendiri… dan daripada saya dibebani rasa bersalah yang nggak ketahuan ujung pangkalnya, dan mumpung masih dalam suasana Lebaran, saya akhiri pikiran akal sehat saya. Lebih baik saya menjalankan ajaran agama saya untuk selalu membangun tali silaturrahim dengan siapa saja dan saling memaafkan di bulan baik ini.

Untuk itu, dengan segala ketulusan hati, dalam kesempatan pertama setelah sekian lama saya nggak ‘ngeblog’ saya mengucapkan : “Selamat Idul Fitri, Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir & Bathin”.

Pemalas ngomongin malas

Malas adalah salah satu kata dalam bahasa Indonesia yang singkat tapi artinya jelas dan tegas. Semua orang pasti akrab dengan kata yang satu ini, karena pasti pernah mengalaminya. Bahkan kalau tak salah, kata malas ini berkonotasi negative dari sejak diciptakan, makanya oleh para orang tua yang bijak malas diibaratkan sebagai ‘penyakit’ yang harus dihindari sejak kita kecil, kalau perlu dienyahkan selamanya dari sifat & kepribadian manusia.

Malas, inilah kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan saya sebulan terakhir ini. Saya tidak mau menyalahkan penyebabnya, tapi harus jujur bahwa julukan sebagai si ‘pemalas’ lah yang cocok buat saya.

Malas untuk beraktivitas dan juga bekerja. Gawat padahal saya masih TDB, yang tentunya mash sangat membutuhkan pekerjaan saya saat ini. Malas gara-gara puasa? Ah yang bener aja. Bukankah selama berpuasa justru kita harus tetap beraktivitas. So jangan nyalahin puasa sebagai kambing hitam atau untuk menutupi sifat malas ini. Sekali malas ya malas aja. Khabar baiknya, untung saya tidak malas untuk menjalankan kewajiban puasa ramadhan.

Malas buka email, malas ngeblog? Ya, itulah yang terjadi dalam kurun sebulan terakhir ini. Padahal aktivitas ngi-mail & ngeblog jelas-jelas banyak gunanya sebagai ajang komunikasi, sharing pengalaman, wadah berkomunitas, dsb. tapi gara-gara malas ya nggak kesentuh juga. Namanya juga lagi malas euyy…

Malas ini seringkali saya sadari berdampak negatif buat diri saya pribadi. Apalagi kalau sudah mendarah daging, sampai-sampai kita tidak menyadari keberadaannya, karena seringkali kita kemas dengan kata lain yang lebih lembut seperti ‘santai aja’ atau ‘nyantai dulu ah’, ‘slow aja’, ‘kalem aja’, ‘ah entar juga masih ada waktu’, ‘gampang lah nanti aja’, dsb. Kalau saya renungkan lebih jauh, gara-gara malas kuliah saya pernah molor dan ketinggalan wisuda. Malas ‘ngurusin’ juga pernah bikin bisnis saya waktu mahasiswa [yang berangkatnya dari semangat cari tambahan uang saku] saya tinggalkan. Padahal kalau saya terusin mungkin sekarang udah jadi gede kali ye? [maklum dulu kan kepinginnya bukan jadi pengusaha tapi jadi pegawai]

Malas rutin ngontrol toko seluler juga pernah berujung omset menurun dan akhirnya ‘dikadalin’ karyawan dan akhirnya malah harus bubar. Malas ngontrol pengelola bisnis rental mobil juga berakibat hilangnya setoran 9 bulan, akhirnya berujung saya pindahkan ke pengelola yang lain. Yang terjadi baru-baru ini, gara-gara terlambat karena malas nyiapin proposal & konsep advertising & communication, bulan kemarin saya kehilangan peluang untuk ‘ndapetin’ kerjaan dari salah satu calon gubernur Jawa Timur. Nyesel. Anehnya, saya kok nggak pernah kapok dan jera dengan sifat malas saya ya? Karena saat malas itu muncul kok sempat saya biarkan berlama-lama hadir di dalam diri saya… hehehe…

Malas memang sudah menjadi sifat pribadi yang unik. Jadi kalau kita berhasil mengatasi kemalasan kita, berarti kita berhasil mengalahkan diri kita sendiri. Yang ini penting banget!

Malas… akhirnya sekali lagi kusadari sepenuhnya bahwa banyak dampak negatifnya daripada positifnya. Makanya, kulawan dia dengan sekuat tenaga. Kalau toh akhirnya tulisan ini selesai dan saya posting di blog, ini sangat besar artinya bagi diri saya pribadi. Karena berarti saya berhasil berjuang sekuat tenaga untuk mengalahkan diri saya pribadi khususnya sifat malas yang memang menjadi penyakit kambuhan sejak dulu.

Malas? Kok saya jadi malas ya … ngomongin malas.

Saturday, July 28, 2007

Ya Allah ampunilah hambamu ini… saat ini baru 19 anak yang bisa kubantu



Menjelang tahun ajaran baru kemarin menjadi hari yang paling sibuk dan deg-degan bagi sejumlah orang tua yang buah hatinya sudah duduk di bangku sekolah. Ada saja kebutuhan yang harus disiapkan agar proses belajar anak menjadi lancar nantinya. Begitu juga yang saya dan istri alami, selain harus menyiapkan dana untuk daftar ulang kedua anak saya, masih banyak keperluan dan perlengkapan sekolah yang harus dipenuhi seperti : buku, sepatu, alat tulis, seragam dsb. Memang dana untuk keperluan ini sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, tapi tetap saja prakteknya jumlahnya melebihi yang sudah direncanakan.

Tanggal 10 Juli 2007, setibanya di rumah dari sekolah anakku membereskan urusan administrasi, tiba-tiba muncul Afni, salah seorang anak yatim klas 5 SD, yang memang sering main ke rumah [selama ini Afni & 3 saudaranya memang setiap bulan kami bantu meskipun hanya sedikit]. Ia pun mengeluhkan tentang biaya daftar ulang dan untuk beli buku. Istriku memang sering berpesan kepadanya kalau ada kebutuhan untuk sekolah yang mendesak, selama ‘kita bisa’ pasti dibantu.

Saat itu pulalah, aku merasa ‘diingatkan’ bahwa pada sebagian harta kita ada hak untuk orang lain yaitu untuk mereka yang lemah [dhuafa], ada hak anak-anak yatim, piatu & yatim piatu yang harus segera aku berikan. Rasulullah juga mengajarkan kepada setiap umatnya untuk selalu membantu mereka-mereka ini. Tak hanya itu, infak dan sedekah pun merupakan wujud kesadaran tertinggi akan sebuah makna kepemilikan setiap sen harta yang kita peroleh. Apapun bentuknya, harta yang kita miliki saat ini adalah salah satu nikmat yang Allah berikan kepada setiap hamba-Nya. Jadi sudah seharusnya bila dibagikan pula kepada yang berhak.

Moment-nya sangat tepat, mereka saat ini jelas memerlukan bantuan untuk memulai sekolah kembali. Apalagi aku sudah sepakat dengan temen-temen mastermind TDA-Jakarta Timur untuk bersedaqoh minimal 20% dari hasil usaha yang kita peroleh. Biasanya menjelang Idul Fitri dan bulan Januari, santunan ke anak yatim/piatu ini kita sumbangkan ke sebuah yayasan di daerah Jatiwaringin [sekaligus kedua anakku juga biar punya kepedulian & empati tatkala berinteraksi dengan mereka di asrama]. Tapi kali ini, aku terpikir untuk memberikannya ke mereka yang ada di dekat lingkungan komplek tempat tinggal kita [jadi memang harus dicari].

Langsung aku berunding dengan istri untuk mengumpulkan anak-anak yatim, piatu dan yatim piatu yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal kita. Dana yang ada untuk program ini, setelah diperhitungkan dengan cermat selayaknya dapat dibagikan kepada 20 anak. Esensinya nya lebih ke arah membantu meringankan beban para anak yatim, piatu & yatim piatu yang masih sekolah [terserah uangnya nanti mau dipakai untuk apa : daftar ulang, beli buku pelajaran, beli perlengkapan sekolah atau apa saja]. Paket buku tulis dan alat tulis sudah disiapkan oleh istriku dan siap dibagikan.

Tanggal 15 Juli 2007 pk. 16.00 [besoknya kan sudah tahun ajaran baru], akhirnya ada 19 anak yatim/piatu dan yatim piatu yang bisa datang, di hari itu pula kami mengundang pak ustadz Sukarman [dari perguruan SMP/SMA Hutama] untuk sedikit memberi masukan dan siraman rohani kepada kami sekeluarga dan 19 anak tsb. Akhirnya, acara selesai dengan baik pk. 16.30.

Ya Allah ampunilah hambamu ini… saat ini baru 19 anak yang bisa kubantu

Saturday, July 14, 2007

Be Happy Now

Anne R. C. Neale

Life is a journey, that we all know,
And we keep busy all the time, that is so,
But what about your happiness, that's important too,
Be happy this day, NOW, that is the thing to do,

Don't wait until you get things that you'd like,
Don't just keep thinking everything will be all right,
The time is now to smell the “roses” you see,
Before you know it your life will be over and you'll be in eternity,

Don't get so wrapped up in your daily life
Be sure to have some fun in your life's strife,
Don't waste this day, enjoy it and have fun, And be sure to give
Thanks for your blessings to the Holy One.

Thursday, July 12, 2007

Stop Press! Temen-temen Madiun ngajak ngumpul

Jumat malam, 6 Juli 2007, yang lalu tiba-tiba Didiek Soesanto temen SD Endrakila Madiun dulu dan juga temen di SMA N 1 Madiun nelpon ke HP. “Ndro, nomer telpon omahmu, piro? Iki onok sing arepe ngomong…”. Nggak lama kemudian telpon rumah berdering, ternyata yang mau ngomong adalah Tetty, temen SD Indrakila Madiun juga. Sebenarnya, aku juga lupa-lupa ingat seperti apa ya Tetty sekarang, begitu juga dia bertanya-tanya, Endro ini yang mana ya?

Akhirnya, Tetty complain, katanya aku nggak pernah bisa datang kalau ada undangan dari konco-konco Madiun. Jujur aja, selama ini kalau konco-konco Madiun yang di Jakarta ngumpul, pastinya selalu bentrok dengan jadwal acara keluargaku… So mau gimana lagi. Semuanya kan penting. Keluarga kan juga penting.

Singkatnya, Tetty ke rumah Didiek hanya mau menyerahkan undangan dari temen Madiun juga yang punya rencana mengkhitankan putranya pada tanggal 15 Juli 2007 nanti. Dengan didrop di Didiek Tetty berharap undangan akan dapat langsung tersebar ke konco-konco Madiun yang lain. Bisa jad benar! Kan Didiek Soesanto ini terkenal temen seangkatan yang paling rajin bersilaturahmi ke undangan Madiun-an. Salut aku sama beliau. Setiap kali ada acara Madiun-an Didiek selalu langsung nelpon aku. Tapi akunya aja yang keterlaluan nggak pernah bisa ngatur waktu biar everybody happy.

Akhirnya, aku berjanji untuk ambil undangan ke rumah Didiek. Di jadwalku sih tanggal 15 Juli belum ada acara yang penting, kecuali jalan-jalan sama my family. Nanti kalau mau datang juga barengan sama Didiek aja lah pikirku. Memang aku belum janji untuk bisa hadir di undangan tsb. Tapi semoga aja kali ini aku bisa memuaskan semuanya. Bisa nggak ya?

Tanggal 9 Juli 2007, kita sekeluarga jalan-jalan ke Bogor, ceritanya cuma mau cari makan siang yang enakan dikit. Maklum, istriku lagi males masak. Bawaannya kalau anak-anak libur kepingin ke pegunungan melulu. Tapi kan kita nggak bisa kemana-mana, putrid pertamaku kan belum selesai nyari SMAN nya. Akhirnya, seharian kita ngubek-ngubek Bogor, mulai dari FO sampai ke pasar nyari tales & asinan dan lunch di masakan khas Sunda.

Pulang dari Bogor, aku rencana mau mampir ke rumah Didiek, tapi pas di dekat kompleknya, Maghrib pun istriku menolak dan nggak mau ngganggu orang yang mau sholat. Dia juga maunya menyegerakan sholat Magrhib. Akhirnya, kuputuskan untuk nanti malamnya aku ke rumah Didiek. Eh, nggak tahunya pk. 9.00 –an Didiek yang dating ke rumah nganter undangan. Yo wis lah! Kita pun asyiik ngobrol ngalor ngidul. Terus Didiek & Harun ngajak aku tanggal 12 Juli 2007 nemuin temen kita Joko Soesilo yang saat ini menjabat Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Tapi karenaku punya plan ndaftarin anak ke SMA N 81 ya dengan berat hati aku nggak bisa ikutan. Tapi aku akan usahakan untuk bisa ngumpul acara reunion yang tanggal 15 Juli 2007 besok. Semoga.

Tonggak perjalanan anakku

6 Juli 2007 yang lalu, aku sengaja ambil cuti dari kantor, sekadar ingin mengantar putriku Adhika mendaftarkan diri ke PSB SMA N yang akan digelar mulai hari ini dengan sistem online seluruh Jakarta. Aku, istriku & anakku sengaja mau datang pukul 8,00 tepat, ke SMA N 71 yang menurut perkiraan akan lebih sepi dibanding ke SMA N 81 yang favorit Jakarta. Oh ya, tahun ini pendaftaran SMA N Jakarta bisa dilakukan di SMA N manapun yang terdekat, karena dengan sistem komputerisasi yang canggih, data akan langsung masuk langsung ke server Depdiknas, dan langsung bisa dibuka dinternet beberapa menit kemudian, canggih ya…Masing-masing diberi kesempatan memilih 5 SMA N yang diminatinya. Nantinya, computer akan memproses sesuai nilai dan peringkat yang ada di SMA N yang dituju.

Setibanya di SMA N 71, tak nampak petunjuk apapun terkait dengan perhelatan ini. Untung istriku iseng nanya ke satpam, di mana tempat ambil formulir pendaftaran, dijawab ada 2 tempat. Kemudian Adhika mengajak ke sebelah barat pintu gerbang, karena banyak temen-temennya sudah ada di situ, dan ternyata antrian sudah panjang, ada kalai 40-an. Istriku pun antri paling belakang, tapi ia sempat berbisik untuk ngecek tempat daftar satunya, tanpa ada petunjuk aku pun mulai jalan-jalan di sebelah timur. Eh ternyata ada seorang petugas duduk di depan kelas dengan tumpukan kertas. Saat kutanya di mana tempat pendaftaran dia pun langsung menyilakan ambil formulir di depannya. Thanks God, sebuah kemudahan ada di depan mata. Lalu kutanya setelah diisi ke mana ini harus dibawa, dia menyilakan untuk ke atas. Akhirnya aku kembali ke antrian istriku, lalu kusampaikan ke barisan antrian bahwa di sana tidak ada antrian, tapi banyak dari mereka yang tidak menanggapi [sayang ama antriannya kale].

Selesai isi formulir langsung ke lantai dua, lalu masuk ke ruang pendaftaran. Surprise, yang ngantre daftar baru sedikit. Tapi kegembiraan ternyata mulai sirna seketika, karena panitia setempat meminta berkas SKHUN [surat keterangan hasil ujian nasional] yang harus sudah dilegalisir ke anakku, yang sengaja aku latih untuk mendaftar sendiri [aku cuma mendampingi]. Nampak anakku hamper putus asa dengan petugas tsb. Alaamaaak! Terpaksa, aku turun tangan. Mulailah aku berargumantasi bahwa dari brosur yang disebar panitia depdiknas, dikatakan ‘pendaftar cukup menunjukkan’ no peserta ujian nasional dan SKHUN saja cukup dan akan dilayani. Kok ini prakteknya lain? Dan konyolnya, mereka tidak mau menerima fotocopian biasa. Dengan agak sedikit keras & menekan aku suruh ambil semua berkas asli milik anakku, karena urusan daftar SMAN hari ini harus selesai, aku nggak mau kalau harus bolak-balik untuk melegalisir berkas. Lalu aku berikan salinan ijazah yang telah dilegalisir sambil berargumentasi bahwa ijazah lebih sah secara hukum disbanding SKHUN yang mereka minta, toh kalau diterima nanti juga akan dicek & recek lagi, belaku. Panitia juga ngotot bahwa mereka tidak mau menahan berkas asli milik anakku.

Suasana agak tegang, dan antrean makin panjang tapi banyak dari mereka yang memihak ke pendapatku. Akhirnya, salah satu dari panitia menelepon seseorang [bossnya kale?]. Hasilnya, fotocopian saja sudah boleh untuk mendaftar. Nah gitu dunk. Be wise lah! Dalam hati, gitu aja kok repot dan nyusahin. Akhirnya, langkah pertama pendaftaran selesai. Kami dipersilakan menunggu hasil print out computer bukti pendaftaran di aula.

Sesampainya di aula, diumumkan kalau computer agak ngadat jadi belum bisa on line sama server pusat data di depdiknas. Sambil menunggu kita dihibur dengan video kegiatan SMAN 71. Ternyata SMA ini oke juga lho. Tahun lalu NEM terendahnya 26 tertinggi 29,60. Memang banyak lulsan SMP Putra tahun sebelumnya yang melanjutkan SMA di sini. Tapi anakku sudah menetapkan pilihan ke SMA N 81 ones of the best SMAN di Indonesia.

35 menit kemudian, akhirnya nama Adhika dipanggil ke depan. Setelah menandatangani bukti pendaftaran, aku pun ikut ngecek apakah data yang diinput benar atau salah. Karena tahun lalu terjadi ada beberapa siswa yang datanya diinput tidak benar akhirnya si anak yang rugi karena gagal diterima ke Sekolah yang diingini. Setelah yakin benar semuanya, barulah kami bertiga ke luar aula. Lalu menunggu temen-temen anakku dan orang tuanya yang tadi kena antrean panjang.

Siangnya, di rumah langsung kita buka internet ke situs www.dikmentidki.psb-online.or.id, lalu masuk di bagian SMA N 81, eh bener lho nama Adhika ada di peringkat ke 30. Malamnya, kita pantau anjlok ke peringkat 35. Hari kedua pendaftaran 7 Juli 2007, sorenya kita pantau lagi lewat internet, nama Adhika anjlok ke peringkat 36. Jadi PSB tahun ini memang betul-betul fair dan transparan banget, karena semua orang bisa memantau via internet. Hari terakhir 9 juli 2007, anjlok lagi ke peringkat 37 dari 259 yang dijaring hingga penutupan pendaftaran. Alhamdulillah, artinya anakku pastinya diterima di SMAN 81. So tinggal nunggu pengumuman resminya 10 Juli besok. Data terakhir yang dijaring SMAN 81, NEM tertinggi 29,60 dan NEM terendah 28,07. Gila banget berarti yang diterima rata-rata NEMnya di atas 9,5 semua. Berat banget nanti saingannya di sekolah ini. Tapi it’s okay, Adhika biasanya kalau ada lawan yang berat malah tambah semangat.

10 Juli 2007, kita langsung ke SMAN 81 tepat pukul 07,55. Wow ternyata banyak banget yang sudah hadir untuk melihat pengumuman & lapor diri. Hari ini adalah kesempatan bagi para calon yang diterima untuk lapor diri. Kalau nggak akan hangus haknya. Dan seperti biasa, minim petunjuk juga. Tapi bersama dengan temen-temen dari SMP Putra lainnya, dengan sabar kami menunggu. Akhirnya, kami diminta untuk masuk ke ruang 1, di situlah lapor diri dimulai. Pendaftaran seharusnya bisa dilangsungkan saat itu juga, tapi persyaratan kami masih kurang SKHUN yang dilegalisir 2 lbr, Kartu Keluarga, dan pasfoto anak, ayah & ibunya. Dan diberi waktu hingga 12 Juli 2007. Lagi-lagi urusan ternyata masih panjang. Karena kita harus ke SMP Putra untuk legalisir, dan bikin pasfoto orang tua. Kebayang kan repot-nya. Sabar dan bersabarlah lagi, karena memang pengumumannya serba nggak jelas.

Usai lapor diri Adhika diminta untuk ukur seragam di ruang lainnya. Eh ternyata, diminta untuk membayar sekaligus uang seragam & buku yang jumlahnya Rp 1,125,000. Lagi-lagi, sebagai orang tua terkejut juga dibuatnya. Untung [orang jawa selalu begini] saya ada Rp 700,000 di kantong & istri ada Rp 600,000 –an di dompetnya. Kebayang kan kalau Adhika nggak kita dampingi sudah ngacir pulang dia… hehehe…Gimana yang nggak siap ya? Pasti sudah keluar dan sibuk cari ATM terdekat. It’s okay emang kita yang butuh dan harus be pro active.

12 Juli 2007, bertiga kita kembali ke SMAN 81 lagi. Kali ini semua berkas sudah lengkap jadi kita datang pk 9,15 –an. Dan urusan daftar ulang bisa berakhir dengan happy. Tanggal 14 Juli 2007 pk 07,00, siswa baru diminta masuk untuk pengarahan MOS [masa orientasi siswa] yang akan digelar 16 Juli 2007.

Inilah kesibukan selama masa liburan kali ini, biasanya kami sekeluarga liburan pergi ke luar kota, kali ini terpaksa tidak ke mana-mana demi urusan nyari SMAN untuk putri pertamaku. Memang akhirnya apa yang diingini bisa tercapai, namun ini hanyalah salah satu tonggak dari sebuah perjalanan yang masih panjang. Karena di SMA N 81 sejak kelas X, Adhika harus berjuang lagi untuk nantinya selalu masuk peringkat dengan harapan bisa dapat jalur PMDK untuk ke Perguruan Tinggi Negri [PTN]. Sebagai penyemangat, tahun 2007 ini ada 160 siswa SMAN 81 yang diterima di PTN terbaik di Indonesia lewat jalur PMDK.

Saturday, July 07, 2007

Sujud Syukur

Tanggal 23 Juni 2006 yang lalu adalah hari yang membuat perasaan saya dan istri menjadi tak menentu. Pagi hari, saat kami harus menghadiri rapat di sekolah putri pertama kami, Adhika, begitu mendebarkan dan membuat jantung deg-degan. Pasalnya, pertemuan tsb. adalah saatnya pengumuman hasil kelulusan siswa kelas IX di SMP Putra 1 Jakarta Timur. Sebenarnya kalau masalah lulus Ujian Akhir Nasional sih kami sangat yakin, putri kami yang selalu 10 besar di kelasnya, kan lumayan siap menghadapinya.

Namun yang menjadi masalah adalah berapa Nilai Ebtanas Murni [NEM] yang bisa diperolehnya. Karena NEM ini saat ini menjadi penentu [kartu AS] untuk bisa masuk ke SMUN papan atas Jakarta. Hampir semua SMUN Jakarta [SMUN 8, SMUN 70, SMUN 28, SMUN 47, SMUN 78, SMUN 61, SMUN 81], NEM terkecil tahun lalu sekitar 28. Ini kan berarti NEM Adhika harus lebih dari 28. Padahal putri kami ini kepinginnya hanya sekolah di SMUN 8 or SMUN 81, di luar kedua sekolah tsb dia nggak mau. Nah lho. Sementara dia belum punya cadangan sekolah swasta. Sebenarnya bulan April kemarin, sudah diterima di SMA Labschool Rawamangun, tapi nggak diambil.

Memang Adhika sudah ikutan test di kelas Internasional SMUN 81, namun belum selesai dan belum tahu apakah nantinya bisa diterima, mengingat saingannya juga cukup banyak. Sebagai orang tua sebenarnya berat juga kalau harus menyekolahkan di kelas internasional ini. Maklum sebagai karyawan menengah sekaligus pengusaha pemula, uang sekolah per tahun sekitar Rp 25,500,000 [belum termasuk untuk ujian semesteran] jelas bukan jumlah yang kecil. Tapi yang namanya keinginan anak, kami berdua sebagai orang tua ya harus mengiyakan saja.

Begitulah latar belakang tak menentunya perasaan saya dan istri. Rapat di sekolah sampailah pada giliran mengumumkan tentang 20 siswa kelas IX SMP Putra yang memperoleh nilai 10 pada mata pelajaran Matematika. Surprise! Adhika disebut menjadi salah satu dari ke-20 anak tersebut. Puji syukur Alhamdulillah, ya Allah Engkau kabulkan salah satu doaku selama ini. Agak lega rasanya. Setidaknya, kalau sudah ada angka 10 ada harapan NEM-nya lumayan bagus. Surprise lagi! Adhika juga disebut namanya masuk 10 besar perolehan nilai bahasa Inggris tertinggi di SMP Putra 1. Puji syukur Alhamdulillah lagi, ya Allah lagi-lagi Engkau kabulkan salah satu doaku selama ini. Meskipun tidak termasuk 10 besar perolehan nilai tertinggi Bahasa Indonesia, namun saya yakin NEM putriku bisa melewati 28. Rasa deg-degan pun berangsur berubah gembira.

Ternyata benar, setelah dibagikan amplop kelulusan, Adhika berhasil meraih NEM 29 [Mat. 10, Bhs Ingg. 9,80, dan Bhs Indo. 9,20]. Di SMP Putra 1 ia memperoleh ranking 4. Bagi saya dan istri, perolehan ranking ini nggak jadi masalah. Yang penting, pintu untuk masuk ke SMUN yang dicita-citakan terbuka lebar. Amin.

That is a miracle happen? Apakah The Law Attractor terjadi. Saya memang sempat berpikir seperti itu. Namun setelah saya renungkan dan mengkilas balik perjalanan putri pertama saya ini sejak lulus SD, jawabannya adalah tidak. Karena apa yang terjadi saat ini memang pernah saya rencanakan dan bayangkan 3,5 tahun yang lalu, sebelum tamat SD. Saat itu saya sudah mulai memikirkan sebaiknya ke sekolah mana [SMP & SMA] Adhika nantinya. Maklum, sewaktu SD kan sekolahnya di Bekasi, yang kalau mau sekolah SMP Jakarta hanya dijatah 5 %. Mulailah survey SMP & SMA Negeri dan Swasta terbaik yang adanya radius 6-10 km dari rumah saya Pondok Gede. Hasil survey kecil-kecilan ini meyakinkan saya beberapa sekolah terbaik yaitu SMP N 128, SMP Putra 1, SMUN 61, dan SMUN 81.

Akhirnya, setelah di SMP Putra 1 diterima, dibayar langsung saat itu juga [maklum kalau sekolahan swasta yang bagus kan mau dinomor duakan]. Eh ternyata, di SMP 128 pun juga diterima meskipun jatah 5%, berarti kan hasil test-nya bagus. Tapi ya begitulah mana mungkin uang 6,5 jt yang sudah dibayar dibiarkan hangus begitu saja? Akhirnya dengan mantap Adhika saya putuskan untuk sekolah di SMP Putra 1, meskipun dia kepingin bareng temen-temennya SD. Pertimbangan saya saat itu, SMP Putra 1 kan deket sama SMAN 81 & SMAN 61, 2 SMA unggulan Jakarta. Siapa tahu kalau diberlakukan rayonisasi sudah aman duluan. Pertimbangan lain, dari data SMP Putra 1, lulusannya setiap tahun sekitar 35% diterima di SMAN unggulan Jakarta [SMAN 8, SMAN 81, SMAN 61, LAbSchool, SMA Taruna Nusantara Magelang, SMA 14, SMA 54, dll.]. Saya hanya berpesan agar Adhika bisa masuk 10 besar di kelas, biar aman nantinya tatkala cari SMA.

Seiring berjalannya waktu, memang Adhika berhasil masuk 10 besar terus di kelasnya, padahal kelasnya kan kelas unggulan [di SMP Putra 1, yang pinter2 memang digabung menjadi 1 kelas, untuk persiapan kelas akselerasi tadinya]. Jadi kalau saat ini ia lulus dengan NEM yang bagus sebenarnya memang sudah selayaknya, sebagai hasil perjuangannya selama di SMP Putra 1. Jadi apa yang kita pikirkan 3,5 tahun yang lalu, it is work and well done. Jadi jangan takut dengan apa yang kita inginkan, kalau kita niat pasti ada jalan untuk mewujudkannya.

Thursday, July 05, 2007

Apa sih yang nggak bisa dijual?

Tadi pagi sambil berangkat ‘ngantor’, saya iseng mampir ke bursa barang loak di Jatinegara Timur, setelah lebih dari 3 bulan tidak saya kunjungi. Ritual ‘ngobok-ngobok’ barang bekas di bursa loak Jatinegara ini sudah lebih dari 4 tahun saya jalani, 2 kali seminggu, selain juga Jl. Surabaya, dan Poncol. Biasanya waktu yang saya habiskan untuk kegiatan ini bisa sampai 2 jam. Karena begitu nemu barang bekas yang bisa saya koleksi, rasanya dapat keasyikan tersendiri.

Kebetulan salah satu hobi saya adalah menjadi pemulung barang bekas. Kalau pak Glen Sompie pemulung ilmu, saya pemulung beneran. Dari SMP kalau main ke rumah temen pasti sekalian hunting [biasanya perangko, korek api, buku bacaan, majalah dan bahkan barang bekas yang ada di gudangnya juga sering saya sasar].

Saat ini saya menyimpan koleksi jam dinding lonceng antik, jam beker, jam tangan otomatis & puteran, mainan dari kaleng [tin toys], komik, cerita silat kho ping ho, korek api Zippo [walaupun saya tidak merokok], perangko, uang kuno, rokok kretek merk local apa saja, patung, lukisan, lampu antik, dan apa aja yang kebetulan saya lihat & suka pasti saya coba tawar dan kalau cocok saya beli. [Mimpi saya, di hari tua nanti punya rumah makan yang merangkap gallery seni, barang antic, dan barang koleksi].

Sebenarnya ini merupakan salah satu peluang bisnis yang cukup bagus dan pemainnya juga belum banyak. Pernah waktu saya dapat jam beker saku buatan Jerman dalam kondisi jalan, taksiran saya buatan tahun 1960-an teman saya berani beli Rp 150,000 karena mengingatkan kepada mendiang kakeknya. Padahal barang tersebut saya peroleh hanya dengan Rp 20,000. Tapi karena saya sendiri menyukainya dan termasuk langka [belum tentu nemu lagi] ya nggak saya lepas. Kecuali jam beker manual bikinan China tahun 1970-an, kalau saya sudah punya 2 item yang sama, kalau pas ada temen kantor yang mau saya lepas Rp 30,000 [yang model begini saya beli cuma Rp 12,000 an]. Pernah juga nemu jam dinding Junghans antik [Rp 700,000], ditawar tamu saya Rp 1,500,000.

Dalam sharing kali ini, saya bukan mau cerita temuan-temuan barang koleksi [meskipun ini menarik buat saya], tapi saya coba ceritakan apa yang saya bisa pelajari dari pasar loak ini.

Don’t worry …apa aja bisa dijual kok

Bagi temen-temen yang kepingin dapat wawasan baru sector barang bekas, sebaiknya sekali-sekali observasi ke tempat bursa loak seperti ini. Kalau kita amati secara seksama, ternyata barang apa saja dan bahkan sudah bekas pun bisa dijual di sini. Mulai dari jam bekas, monitor bekas, spion mobil, lampu, buku, lukisan, dsb.

Uniknya, yang namanya pembeli itu ternyata ya ada aja. Rejeki dari Allah SWT yang unlimited pun ternyata bisa dijemput oleh para praktisi barang loak ini. Salah satu kios langganan barang antik saya, malah ketiga anaknya kuliah semua.

Jadi kalau barang bekas bisa menjadi sumber rejeki, berarti kan barang yang baru seharusnya lebih PeDe untuk dijual dan menjadi sumber rejeki. Yakinkan diri sendiri bahwa kalau kita niat apa saja bisa jadi duit.

Spirit dan alur bisnisnya

Yang juga menarik untuk diamati adalah spirit ‘jualannya’. Begitu kita memasuki kawasan ini, langsung terasa atmosphere suasana pasarnya yaitu bertemunya ‘demand’ dan ‘supply’. Ramai sekali, apalagi kalau masih pagi jam 7-an di mana barang baru datang dan digelar. Hampir semua lapak pasti banyak yang merubunginya. Buat saya ini menarik sekali.

Masing-masing lapak ternyata punya pemasok sendiri-sendiri. Pemasok ini datang dengan barang segerobak yang isinya bisa segala macam dan biasanya langsung minta diborong ‘gelondongan’ ke lapak langganannya. Saat baru diborong dan baru dipilah-pilah inilah saat yang tepat untuk mencari barang yang ‘layak’ beli [saya sering dapat jam saku ataupun jam beker masih bagus dan murah]. Kalau ketemu ya langsung dibeli aja. Dealnya lebih gampang dan cepat karena pemilik lapak juga kepinginnya modal yang digunakan untuk memborong tadi harus cepat kembali.

Kalau barang tadi sudah dipilah-pilah, dan pemilik lapak sudah menaksir, mengamati, dan mengutak-atik ternyata barang tersebut ‘layak’ dan nggak ada yang rusak, harganya akan lebih mahal. Apalagi kalau sudah di atas jam 10-an, saat lapak harus hengkang dari jalanan, biasanya barang-barang yang ada akan dijual borongan juga ke pemilik kios permanent, harga barang pun jatuhnya akan lebih mahal lagi. Jam beker lipat [made in German] yang kalau di lapak cuma Rp 15,000, di kios naik pangkat menjadi Rp 35,000 hingga 50,000.

Spesialisasi

Beda dengan para lapak-ers yang jualannya campur aduk, kalau diamati para pemilik kios lebih mengarah ke spesialisasi. Jadi ada kios khusus yang jual HP bekas & aksesorisnya, kios buku & majalah, kios barang antik, kios jam, kios computer & macem-macemnya, kios jaket, dsb. Yang model begini cukup memudahkan bagi pembeli yang hendak mencari sesuatu barang. Tetapi hati-hati yang sering, barang yang dijual juga sudah hasil kanibalisai. Tapi so what? Kalau emang barang yang dicari penting banget buat kita.

Saya pernah cari spion Mitshubishi Kuda yang pecah disenggol angkot, tapi nggak ada. Karena yang banyak justru spion Kijang & Carry. Akhirnya saya ditunjukkan tempat orang yang bisa ‘mengakalinya’ nggak jauh dari situ. Jadi dicarikan kaca spion yang lebih lebar lalu dipotong dibentuk persis aslinya punya Kuda, lalu dipasang ke dudukannya, hasilnya rapi banget dan nyaris sempurna. Biayanya Cuma Rp 40,000. Bayangkan kalau mesti beli baru yang sekitar Rp 400,000 an sebelah dan harus beli sepasang. Tukang spion ini juga cerita, bahwa dia sering di-order oleh bengkel-bengkel mobil sekitar Kampung Melayu untuk ngakali spion, yang mana bengkel akan nge-charge pemilik mobil Rp 150,000 –an.

Pengetahuan terhadap barang yg dijual

Berbeda dengan mereka yang ngelapak, para pemilik kios biasanya lebih pintar dan tahu akan nilai barang yang dijualnya. Itu yang membuat barang-barang di kiosnya jadi lebih mahal harganya Barang seperti jam beker atau jam saku, harga akan berbeda antara jam buatan jerman dengan buatan jepang atau china. Tahun pembuatannya juga bisa mempengaruhi harga, tahun yang lebih kuno dengan kondisi bagus, pasti sulit untuk ditawar.

Begitu juga untuk buku bacaan Kho Ping Ho, Winnetou-nya Karl May kalau masih komplit dan serinya yang nggak ada di toko buku saat ini pasti mahal. Komik Trigan, komik silat karangan Teguh & Yan Mintaraga juga harganya lebih mahal dibanding komik lainnya. Koleksi yang seperti ini juga susah didapat, belum tentu setiap kali ke sana bisa ketemu. Makanya kalau pas ada, asal harganya masuk akal biasanya saya beli.

Pelajaran yang bisa dipetik, kalau kita jualan apapun, kita mesti tahu positioning produk kita, serta positioning para competitor. Setidaknya kita juga harus bisa menjelaskan apa kelebihan barang kita dibanding milik competitor kita. Bagaimana harga kita dibanding competitor, dan masih banyak lagi. Jadi secara sadar saya pribadi harus lebih banyak belajar lagi di jagad bisnis yang saya tekuni saat ini.

Begitulah cerita hobi saya sebagai pemulung, mudah-mudahan nggak ada yang menirunya, hehehe… Sebenarnya masih banyak yang kepingin disharing di sini tapi mengingat keterbatasan ruang & waktu milik saya, lain kali akan saya lanjutkan.

Wednesday, July 04, 2007

Calon Jatim 1 di mata saya

Akhirnya, Prof. Dr. Hermawan Sulistyo [pengamat politik] atau yang lebih dikenal sebagai Kiki Haryodo, yang juga asli Madiun [PG Soedhono, Geneng] maju untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur periode mendatang [2008-2013].

Buat saya ini jelas berita yang menggembirakan dan patut untuk diberi dukungan sepenuhnya. Karena saya tahu persis siapa calon yang satu ini. Mas Kiki ini memang punya niat & nyali kuat untuk mendobrak system yang selama ini sudah terstruktur dan mengkristal, demi perbaikan & perubahan masyarakat Jawa Timur yang madani [hidup sejahtera].

Selain cita-cita menyejahterakan rakyat [mimpi besarnya], saya yakin bila Jawa Timur dipimpin oleh mantan aktivis mahasiswa yang sekarang jadi peneliti LIPI ini, pendidikan akan lebih maju, akan banyak beasiswa ke LN untuk para lulusan SMA. Karena banyak akses yang dimiliki dengan berbagai perguruan tinggi di LN, yang kalau di click [kayak computer aja] akan mau bekerja sama memberi kesempatan beasiswa kepada putra-putri terbaik Jatim. Semoga.

Memang saya dan mas Kiki punya kedekatan emosional, karena saya memang pernah jadi ‘cantrik’ dan magang di ‘padepokannya’ selama 5 tahun. Dan jujur saja, saya banyak belajar segala hal tentang kehidupan dari tokoh yang satu ini. Tapi bukan berarti ini yang menjadikan saya memberi dukungan kepadanya untuk Jatim 1. Tapi lebih karena kakak & guru saya ini memang yang paling pas & cocok saat ini untuk menjadi ujung tombak bangkitnya Jatim di percaturan dunia. Ingat dunia lho!

Saya berani mempromosikan calon Gubernur Jatim yang satu ini, berangkat dari pertemuan kita yang intens, seminggu sekali tatkala diminta membantu menyusun konsep besar komunikasi & publikasi selama masa kampanye. Sebagai praktisi di bidang periklanan, saya juga punya komitmen untuk bicara kebenaran & apa adanya tentang calon yang satu ini. Jadi ketika paparan mimpi besarnya untuk Jawa Timur click dengan logika berpikir saya yang juga mendambakan pemberdayaan masyarakat, saya pun siap membantu ‘habis-habisan’ untuk bagian keahlian saya.

So, kalau Anda semua mendambakan masa depan Jatim yang lebih baik, marilah kita bergabung merapatkan barisan mendukung sebisanya calon yang bukan berasal dari birokrat dan bekas pejabat, bukan aktivis partai politik tapi mantan aktivis mahasiswa, yang juga peneliti. Bukan tipe orang yang bakal nyari kekayaan, karena saat ini pun beliau sudah kaya dan popular, kalau mau jadi menteri dari kapan-kapan juga pasti bisa. Apalagi kalau kepingin lebih kaya, banyak universitas di LN yang kepingin beliau ini bergabung jadi professor tamu di kampusnya [apa nggak enak hidup di LN gaji ribuan dolar].

Tuesday, July 03, 2007

Cerita International Class

Sejak Jumat, 29 Juni 2007 yang lalu, aku ambil cuti dari pekerjaan kantor yang sebenarnya juga ‘menumpuk’. Yah, mau nggak mau karena hari itu mesti datang ke SMA N 81 Jakarta untuk memenuhi undangan International Class SMA N 81. Kebetulan putri pertamaku ikut test di program tersebut.

Jadi ingat tatkala aku lulus SMP di Madiun dulu, kayaknya untuk cari SMA aku pergi sendiri dan mandaftarkan diri sendiri. Di mana akhirnya aku diterima di SMA N 1 Madiun, tidak sekalipun orang tua ikut repot. Serasa jaman dulu kok segalanya gampang aja ya…

Beda banget sama saat ini, pengumuman kelulusan anakku dari SMP, orang tua lah yang harus datang, daftar ke SMA labs school orang tua juga yang mesti repot. Saat daftar ke International School SMA N 81 Jakarta memang putriku daftar sendiri bareng temen-temennya. Eh nggak tahunya ada yang namanya proses pihak SMA N 81 harus wawancara dengan orang tua calon siswa International Class.

Yang menarik, saat wawancara aku lebih banyak mewawancarai kepala sekolahnya disbanding sebaliknya. Maklum aja sebagai mantan wartawan aku kan mesti tetap kritis menyikapi trend sekolah yang menciptakan program International Class ini.

Pertama, aku bertanya masalah objective International Class itu sendiri, jawabannya hanya berputar di masalah kepentingan pihak sekolah untuk memberikan alternative bagi siswa yang nantinya kepingin melanjutkan belajar ke perguruan tinggi di LN seperti Australia, Singapura, Malaysia, dsb. Karena lulusan International Class ini bakal dapat 2 sertifikat, dari Indonesia dan dari Cambridge [Inggris]. Kesimpulanku, kalau Cuma mau kuliah di dalam negeri ya jadinya mubazir.

Kedua, apakah program ini mendapat subsidi dari pemerintah, jawabannya dapat block grand, kalau nggak dapat block grand kan bayarnya bisa lebih mahal lagi. Lalu aku Tanya lagi apakah nantinya bagi siswa yang berprestasi akan ada beasiswa? Dijawab oleh kepala sekolah bahwa untuk International Class ini sama sekali tidak ada beasiswa. Karena program ini selebihnya dibebankan ke orang tua murid. Jatuhnya untuk tahun pertama sekitar 20 jt-an ditambah uang masuk SMAN 81 nanti [bisa sekitar 6 jt-an]. Tahun kedua 20 jt-an per tahun, tahun ke-3 20 jt-an lagi. Uang segini konon untuk fasilitas seperti 1 laptop untuk 3 siswa, akses internet, ruang AC, projector, dsb. Tapi saat aku minta riciannya yang detil, nggak bisa diperlihatkan karena ini confidential sifatnya. Nah lho.

Ketiga, aku tanya lagi bentuk kerja sama dengan pihak Cambridge itu seperti apa? Ternyata hanya sebatas kurikulum, standard 5 pelajaran [Math, Fisika, Biologi, Kimia & Bhs Inggris] berasal dari sana termasuk buku & soal ujian. Ini pun saat ujian harus bayar lagi kurang lebih kalau dirupiahkan saat ini 1 jt per mata pelajaran. Tatkala aku kejar dengan pertanyaan yang lebih jauh apakah lulusan terbaik bisa langsung bisa dapat beasiswa dari Cambridge, ternyata TIDAK. Nah lho.

Dan masih banyak lagi yang aku tanyakan seputar program International Class ini. Termasuk ke depannya akan seperti apa. Namun jawaban yang kudapat ‘ngambang’ dan diplomatis semua sifatnya. Maklum lah karena baru berjalan 2 tahun, jadi belum terbukti seperti apa nantinya. Ini kan berarti masih ‘percobaan’. Kok saying ya kalau anakku jadi korban percobaan para pendidik yang punya ‘mimpi’ nggak jelas.

Pihak SMA N 81 hanya menanyakan tentang komitmen orang tua untuk masalah pendanaannya, serta kesanggupannya melakukan pembayaran tanggal 2 & 3 Juli 2007 [saat usai pengumuman penerimaan siswa baru kelas internasional ini].

Setelah mempertimbangkan benefit yang diperoleh dibandingkan dengan dana yang harus keluar selama 3 tahun [bisa sampai 70jt-an], akhirnya saat itu aku putuskan untuk menulis pernyataan bahwa aku keberatan dengan dana yang harus dibayarkan. Kecuali bila nantinya ada beasiswa atau benefit lain yang bisa didapat, aku akan fight untuk membayar segitu.

Sesampainya di rumah, aku khabarkan ke putrid tersayang, bahwa sepertinya nggak bakal diterima di International School tsb. sembari aku jelaskan isi acara wawancara tadi.

Eh, ternyata saat tanggal 2 Juli 2007, pengumuman digelar, anakku termasuk yang diterima [hasil testnya bagus kali ye?] Tanggal itu juga aku datang lagi ke SMA N 81, lalu melapor diri bahwa kalau tidak ada keringanan pembayaran, potongan, ataupun beasiswa, aku tidak akan ambil International Class tsb. untuk anakku. Dan masih dijawab tidak ada itu semua. Akhirnya, aku bilang bahwa anakku terpaksa ‘mundur’ dari program tsb. Lalu aku diminta buat pernyataan tertulis, saat itu juga aku buat.

Besoknya, 3 Juli 2007, pihak SMAN 81 International Class, menelpon lagi ke rumah dan menanyakan apakah jadi masuk atau tidak? Nah lho gimana sih ini? Kan aku sudah menyatakan untuk mengundurkan diri. Bingung kan…

Inilah pengalaman aku terlibat sama urusan anak nyari sekolah, yang dulu jaman aku lulus SMP kok bisa aku atasi sendiri. Tapi jaman gini kok malah ribet…

Sunday, July 01, 2007

Belajar bisnis? Penting nggak sih?

Kalau pertanyaan di atas ditujukan untuk saya, dengan tegas saya akan menjawab : penting! Memangnya untuk terjun di dunia bisnis kita harus belajar? Jelas ya!
Di jaman yang serba sulit ini ditambah situasi perekonomian yang tidak menentu ini, siapa saja harus selalu cepat dan tanggap dengan adanya perubahan yang terjadi di sekitar kita. Artinya, kita harus selalu meng-up date semua pengetahuan kita sesuai perkembangan dunia yang paling terkini. Manusia di era terkini harus tahu lebih banyak dan tidak boleh ketinggalan dalam segala hal, termasuk mengenai kewirausahaan.

Dunia kita cepat berubah
Lihat saja akibat cepatnya perubahan yang terjadi di bidang ekonomi yang berdampak krisis ekonomi berkepanjangan, serta adanya kenaikan BBM yang kemudian diikuti dengan kenaikan lain-lain, tiba-tiba segalanya termasuk kehidupan menjadi terasa menjadi sulit. Harga-harga kebutuhan pokok menjadi naik [saat ini pun yang namanya beras & minyak goreng harganya berubah terus] yang mengakibatkan daya beli masyarakat juga menurun drastis. Semua orang [yang waras] akhirnya mau tidak mau harus merubah pola pikirnya di bidang keuangan untuk mensiasati kesulitan ekonomi yang dialaminya. Karena 'rasa aman' secara ekonomi tiba-tiba menjadi 'tidak aman' lagi. Penghasilan yang tadinya cukup untuk menutupi kebutuhan hidup, tiba-tiba menjadi tidak cukup lagi, sehingga semua orang harus memutar otak untuk bisa mengatasi masalah ekonominya.

Beruntunglah bagi sebagian mereka yang mau 'berubah', dalam arti merubah gaya hidupnya, melakukan penghematan, menekan pengeluaran, yang tadinya merokok lalu berhenti merokok, yang tadinya naik mobil ke kantor berpindah ke busway dan bahkan naik sepedamotor, dsb. Setidaknya, mereka yang mau berubah masih dapat bertahan dan survive dalam menghadapi era perubahan tsb.

Berbahagialah pula mereka yang juga berani ‘berubah’ mengkritisi zona nyaman untuk take action memulai bisnis sendiri. Logikanya di saat perekonomian sedang sulit memulai usaha dan berhasil maju, bayangkan nantinya tatkala situasi ekonomi membaik, saya yakin pasti wess… wess… melajulah mereka di deretan terdepan. bisnis,banyak orang yg tidak mempelajari ilmu tentang bisnis akibatnya banyak pada saat ingin merintis suatu usaha sudah bingung duluan,mau bisnis apa ya?.mau dagang apa ya?dagang ini sudah banyak buka usaha itu tempatnya gak strategi.. dsb.

Daripada kebingungan mau mulai dari mana, harusnya kita sadar dan mengerti bahwa untuk membuka usaha/bisnis mesti ada ilmunya, cari tahu lah lebih dulu ilmunya baru kita bisa mencoba untuk buka usaha.Oleh karena itu, saya anjurkan lebih baik belajar memulai usaha. Bila perlu minta dibimbing oleh orang yang memiliki pengalaman dan mengerti kewirausahaan supaya kita bisa sukses.

Nah, kenapa kebanyakan dari kita orang jarang mau merintis usaha? Sepertinya dikarenakan tidak punya kemauan yang keras untuk membangun usaha. Sebab untuk merintis usaha sendiri itu memang tidak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan adanya pengetahuan tentang bisnis dan keteguhan hati serta terus berpikir mencari jalan yang terbaik dan positif guna mengembangkan bisnisnya itu.
Faktanya, orang yang penghasilannya di atas rata-rata atau bahkan bisa kaya raya mereka kebanyakan berasal dari kalangan pebisnis/mereka yang memiliki suatu usaha tertentu.Rubahlah mindset
Bila Anda masih karyawan seperti saya, mulailah merubah mindset atau pola pikir kita terlebih dahulu. Tanyakan pada diri sendiri, apakah kita harus jadi karyawan seumur hidup? Penghasilan sebagai karyawan sudahkah memberi jaminan untuk masa depan kita? Sebagai karyawan berpikirlah bila seandainya tiba-tiba kita terkena PHK, apa yang bisa kita lakukan? Dsb.

Tidak ada salahnya untuk mencuci otak kita seperti itu agar mulai memikirkan dan merencanakan untuk Take Action dan berjuang untuk memiliki usaha sendiri. Mulailah membuka diri untuk belajar usaha dan memperbanyak wawasan di bidang UKM. Perbanyak membaca berita-berita bisnis, buku-buku wirausaha yang saat ini bisa dengan begitu mudah ditemukan. Cobalah untuk bergabung dengan orang-orang yang sudah mulai terjun di dunia usaha. Cari tahu bagaimana kisah-kisah sukses mereka, karena semua kesuksesan itu pasti ada jejaknya. Sulit memang untuk mempraktekkannya. Apalagi kalau kita selama ini sudah merasa hidup nyaman di zona yang aman. Tapi dengan tekad yang kuat dan segera take action pasti akan ada cara dan jalan untuk mewujudkannya. Percayalah, semua pasti bisa! Karena saya telah mempraktekkannya.

Kalau dikaji lebih jauh, keberanian untuk memulai usaha atau take action itu ternyata dasarnya bersumber dari keinginan untuk berani merubah mindset kita terlebih dulu. Pegang komitmen kita untuk selalu harus berubah, jangan selalu puas dengan apa yang kita capai maupun kemapanan yang menyesatkan. Karena bila terlalu lama kita menikmati hidup di zona aman, akan semakin lama dan sulit untuk mengantisipasi adanya perubahan di sekitar kita. Akan semakin sulit pula untuk berubah. Sebaiknya segera rubahlah pola pikir Anda, dan tancapkan keberanian untuk take action dan memulai merintis usaha sendiri. Dengan mencoba memulai usaha sekecil apapun akan membawa kebaikan di masa mendatang. Karena perjalanan 1000 langkah selalu harus diawali dengan langkah pertama.

Monday, March 12, 2007

10 pertanyaan paling menantang

Ini ada tulisan bagus dari temen milis TDA, semoga bermanfaat.

Endoz

Pengantar:
Pak Afrizal & Rekan members TDA,

Saya selalu terharu setiap ada rekan yang memutuskan
full TDA. Saya teringat kembali sewaktu saya
memutuskan hal yang sama. Betapa sesunggunya bukan hal
yang mudah.
Tulisan ini saya "kado" kan untuk Pak Afrizal yg telah
memutuskan full TDA. Great decision Pak. See you on
the top!

Salam FUNTastic!

Fauzi Rachmanto

============ ========= ========= =======

10 Pertanyaan Paling Menantang

Sewaktu menikah, kata orang kami berdua merupakan
“pasangan ideal”, karena istri saya pegawai negeri dan
saya karyawan bank swasta. Sudah punya karir, punya
anak dua, punya rumah, punya mobil, kurang apa? Begitu
kebanyakan teman dan keluarga bilang ke saya ketika
saya memutuskan menjadi pengusaha. Paling susah jika
ada acara kumpul2 keluarga atau teman. Biasanya muncul
pertanyaan ataupun pernyataan luar biasa yg rada2
susah dijawab. Ada yang sempat saya jawab, ada yang
bikin saya speechless. Berikut diantaranya:

1. Kenapa sih jadi pengusaha?
Jawab: Karena terlanjur! Hahaha … Jujur saja, tadinya
karena terlanjur bikin perusahaan, jadi terpaksa
serius. Ya begitulah hidup, kadang2 ada saja yang
terjadi diluar rencana. Tapi setelah saya renungkan,
menjadi pengusaha adalah pilihan hidup saya. Saya
tetap menghormati pilihan hidup orang lain. Jadi
karyawan juga tidak ada salahnya. Tapi saya pribadi
pilih jadi pengusaha. Karena hanya dengan menjadi
pengusaha, saya bisa melakukan banyak hal yang tidak
mungkin saya lakukan ketika menjadi karyawan,
misalnya:
- Memiliki potensi pendapatan yang sangat besar.
Sementara kalau terus jadi karyawan, setinggi apapun
jabatan saya pendapatan saya terbatas.
- Hanya dengan menjadi pengusaha saya dapat memberikan
kesempatan buat orang lain untuk mencari nafkah di
perusahaan saya. Istilahnya, bisa menjadi saluran
rizki buat orang lain.
- Lebih banyak waktu bersama anak2 dan keluarga saya,
sementara pendapatan terus mengalir. Sementara kalau
jadi karyawan waktu saya habis tersita untuk
perusahaan.

2. Bukankah hidup pengusaha itu susah, tidak bahagia?
Jawab: Ya, ada pengusaha yang tidak bahagia. Banyak
juga karyawan yang tidak bahagia. Bahagia sebetulnya
kan bukan soal profesi kita apa. Bahagia adalah
pilihan hati kita mau bahagia atau tidak. Saya sih
pilih bahagia.

3. Tapi kan pusing dan capek mikirin usaha?
Jawab: Ya, memang pusing kalau cuma dipikirin. Makanya
usaha tidak untuk dipikirin saja, tapi juga dijalanin.
Kalau sudah dijalanin sih pusing nya ilang kok.
Diganti sama deg2 an ... hehehe. Dulu sebelum tahu
ilmu nya saya juga capek. Dulu tidak ada delegasi ke
tim, jadi semua saya jalanin sendiri. Saya ikutan dari
mulai jualan, melakukan implementasi, sampai nagih.
Caaape’ deeeh. Tapi sekarang dengan delegasi ke tim,
alhamdulillah saya bisa lebih rileks.

4. Jadi pengusaha kan bisa bangkrut?
Jawab: Semua ada risiko nya. Jadi pengusaha penuh
risiko. Jadi karyawan apalagi. Malah, yang harusnya
paling takut perusahaan bangkrut itu justru para
karyawan. Kalau perusahaan bangkrut, karyawan langsung
dipecat. Kalau perusahaan saya bangkrut, belum tentu
saya pribadi ikut bangkrut. Lagi pula saya sedang
belajar menciptakan multiple streams of income, supaya
sumber pendapatan saya tidak hanya dari satu usaha
saja.

5. Gak takut banyak saingan?
Jawab: Dulu ya, saya takut saingan. Tapi setelah
dijalani ternyata persaingan itu tidak menakutkan sama
sekali. Malah positif buat kita karena memacu kita
untuk selalu lebih baik. Kalau kita selalu lebih baik
dari saingan, tidak ada lagi yang perlu ditakutkan.

6. Jadi karyawan kan lebih tentram?
Jawab: Ya ini kan soal pilihan. Mungkin jaman orang
tua kita dulu menjadi karyawan cukup menentramkan dari
segi finansial. Tapi dengan laju inflasi, semakin
besarnya biaya sekolah, semakin tingginya biaya hidup,
dan sebagainya, kalau saya terus jadi karyawan, justru
saya tidak akan bisa tentram lagi ketika anak2 saya
kuliah nanti.

7. Sudah punya karir kok ditinggalkan, apa tidak
bersyukur kepada Tuhan?
Jawab: Saya sangat bersyukur atas apa yang Allah telah
berikan kepada saya. Bahkan, dengan menjadi pengusaha
saya semakin memahami arti bersyukur. Dulu, saya
tinggal menunggu tanggal 25 semua beres, menghabiskan
nya juga enteng saja. Kini, saya semakin dapat
mensyukuri setiap rupiah yang saya terima. Betapa
dibalik setiap rupiah tadi adalah rizki dari yang Maha
Penyayang. Lagipula, menjadi pengusaha memungkinkan
saya mengembangkan seluruh potensi yang Allah sudah
berikan kepada saya. Itulah salah satu cara saya
bersyukur.

8. Gak punya darah pengusaha kok jadi pengusaha?
Jawab: Ya, dulu memang kebanyakan pengusaha
tradisional hanya meneruskan usaha orang tua nya. Maka
muncul mitos soal darah pengusaha ini. Kenyataannya
sekarang siapapun bisa jadi pengusaha. Karena
mengelola usaha itu ternyata ada ilmunya dan bisa
dipelajari. Saya memang masih belajar, tapi siapapun
yg mau belajar insyaAllah pasti bisa.

9. Kenapa gak merangkap saja punya usaha tapi tetap
jadi karyawan?
Jawab: Ya. Mungkin saja begitu. Saya juga pernah
begitu. Tapi kok malah tidak maksimal. Usaha tidak
berkembang, jadi karyawan juga gak tenang. Mungkin
masalahnya di fokus. Kalau saya bekerja untuk
perusahaan orang lain, semestinya dedikasi saya 100%
untuk perusahaan itu. Dengan “nyambi“, saya kok merasa
“selingkuh“ gitu. Itu kalau saya lho, mungkin orang
lain tidak.

10. Kok sering dirumah, sebenernya kerjanya apa sih?
Jawab: Hehehe ... begini Oom, memang jaman sekarang
sudah maju. Pertama, jasa yang perusahaan saya berikan
memang lebih banyak pakai otak daripada otot, jadi
saya bisa menyelesaikan sebagian besar kerjaan saya
dimanapun lewat internet. Kedua, sebagian besar
kerjaan yang butuh kehadiran fisik sudah saya
delegasikan pada tim saya yang lebih muda dan lebih
pinter, dan saya bayar mahal pula. Jadi saya tinggal
memonitor saja. Memang sekarang mungkin aneh, tapi
makin lama akan makin banyak orang yang bekerja
seperti saya.

http://fauzirachman to.blogspot. com