Thursday, July 05, 2007

Apa sih yang nggak bisa dijual?

Tadi pagi sambil berangkat ‘ngantor’, saya iseng mampir ke bursa barang loak di Jatinegara Timur, setelah lebih dari 3 bulan tidak saya kunjungi. Ritual ‘ngobok-ngobok’ barang bekas di bursa loak Jatinegara ini sudah lebih dari 4 tahun saya jalani, 2 kali seminggu, selain juga Jl. Surabaya, dan Poncol. Biasanya waktu yang saya habiskan untuk kegiatan ini bisa sampai 2 jam. Karena begitu nemu barang bekas yang bisa saya koleksi, rasanya dapat keasyikan tersendiri.

Kebetulan salah satu hobi saya adalah menjadi pemulung barang bekas. Kalau pak Glen Sompie pemulung ilmu, saya pemulung beneran. Dari SMP kalau main ke rumah temen pasti sekalian hunting [biasanya perangko, korek api, buku bacaan, majalah dan bahkan barang bekas yang ada di gudangnya juga sering saya sasar].

Saat ini saya menyimpan koleksi jam dinding lonceng antik, jam beker, jam tangan otomatis & puteran, mainan dari kaleng [tin toys], komik, cerita silat kho ping ho, korek api Zippo [walaupun saya tidak merokok], perangko, uang kuno, rokok kretek merk local apa saja, patung, lukisan, lampu antik, dan apa aja yang kebetulan saya lihat & suka pasti saya coba tawar dan kalau cocok saya beli. [Mimpi saya, di hari tua nanti punya rumah makan yang merangkap gallery seni, barang antic, dan barang koleksi].

Sebenarnya ini merupakan salah satu peluang bisnis yang cukup bagus dan pemainnya juga belum banyak. Pernah waktu saya dapat jam beker saku buatan Jerman dalam kondisi jalan, taksiran saya buatan tahun 1960-an teman saya berani beli Rp 150,000 karena mengingatkan kepada mendiang kakeknya. Padahal barang tersebut saya peroleh hanya dengan Rp 20,000. Tapi karena saya sendiri menyukainya dan termasuk langka [belum tentu nemu lagi] ya nggak saya lepas. Kecuali jam beker manual bikinan China tahun 1970-an, kalau saya sudah punya 2 item yang sama, kalau pas ada temen kantor yang mau saya lepas Rp 30,000 [yang model begini saya beli cuma Rp 12,000 an]. Pernah juga nemu jam dinding Junghans antik [Rp 700,000], ditawar tamu saya Rp 1,500,000.

Dalam sharing kali ini, saya bukan mau cerita temuan-temuan barang koleksi [meskipun ini menarik buat saya], tapi saya coba ceritakan apa yang saya bisa pelajari dari pasar loak ini.

Don’t worry …apa aja bisa dijual kok

Bagi temen-temen yang kepingin dapat wawasan baru sector barang bekas, sebaiknya sekali-sekali observasi ke tempat bursa loak seperti ini. Kalau kita amati secara seksama, ternyata barang apa saja dan bahkan sudah bekas pun bisa dijual di sini. Mulai dari jam bekas, monitor bekas, spion mobil, lampu, buku, lukisan, dsb.

Uniknya, yang namanya pembeli itu ternyata ya ada aja. Rejeki dari Allah SWT yang unlimited pun ternyata bisa dijemput oleh para praktisi barang loak ini. Salah satu kios langganan barang antik saya, malah ketiga anaknya kuliah semua.

Jadi kalau barang bekas bisa menjadi sumber rejeki, berarti kan barang yang baru seharusnya lebih PeDe untuk dijual dan menjadi sumber rejeki. Yakinkan diri sendiri bahwa kalau kita niat apa saja bisa jadi duit.

Spirit dan alur bisnisnya

Yang juga menarik untuk diamati adalah spirit ‘jualannya’. Begitu kita memasuki kawasan ini, langsung terasa atmosphere suasana pasarnya yaitu bertemunya ‘demand’ dan ‘supply’. Ramai sekali, apalagi kalau masih pagi jam 7-an di mana barang baru datang dan digelar. Hampir semua lapak pasti banyak yang merubunginya. Buat saya ini menarik sekali.

Masing-masing lapak ternyata punya pemasok sendiri-sendiri. Pemasok ini datang dengan barang segerobak yang isinya bisa segala macam dan biasanya langsung minta diborong ‘gelondongan’ ke lapak langganannya. Saat baru diborong dan baru dipilah-pilah inilah saat yang tepat untuk mencari barang yang ‘layak’ beli [saya sering dapat jam saku ataupun jam beker masih bagus dan murah]. Kalau ketemu ya langsung dibeli aja. Dealnya lebih gampang dan cepat karena pemilik lapak juga kepinginnya modal yang digunakan untuk memborong tadi harus cepat kembali.

Kalau barang tadi sudah dipilah-pilah, dan pemilik lapak sudah menaksir, mengamati, dan mengutak-atik ternyata barang tersebut ‘layak’ dan nggak ada yang rusak, harganya akan lebih mahal. Apalagi kalau sudah di atas jam 10-an, saat lapak harus hengkang dari jalanan, biasanya barang-barang yang ada akan dijual borongan juga ke pemilik kios permanent, harga barang pun jatuhnya akan lebih mahal lagi. Jam beker lipat [made in German] yang kalau di lapak cuma Rp 15,000, di kios naik pangkat menjadi Rp 35,000 hingga 50,000.

Spesialisasi

Beda dengan para lapak-ers yang jualannya campur aduk, kalau diamati para pemilik kios lebih mengarah ke spesialisasi. Jadi ada kios khusus yang jual HP bekas & aksesorisnya, kios buku & majalah, kios barang antik, kios jam, kios computer & macem-macemnya, kios jaket, dsb. Yang model begini cukup memudahkan bagi pembeli yang hendak mencari sesuatu barang. Tetapi hati-hati yang sering, barang yang dijual juga sudah hasil kanibalisai. Tapi so what? Kalau emang barang yang dicari penting banget buat kita.

Saya pernah cari spion Mitshubishi Kuda yang pecah disenggol angkot, tapi nggak ada. Karena yang banyak justru spion Kijang & Carry. Akhirnya saya ditunjukkan tempat orang yang bisa ‘mengakalinya’ nggak jauh dari situ. Jadi dicarikan kaca spion yang lebih lebar lalu dipotong dibentuk persis aslinya punya Kuda, lalu dipasang ke dudukannya, hasilnya rapi banget dan nyaris sempurna. Biayanya Cuma Rp 40,000. Bayangkan kalau mesti beli baru yang sekitar Rp 400,000 an sebelah dan harus beli sepasang. Tukang spion ini juga cerita, bahwa dia sering di-order oleh bengkel-bengkel mobil sekitar Kampung Melayu untuk ngakali spion, yang mana bengkel akan nge-charge pemilik mobil Rp 150,000 –an.

Pengetahuan terhadap barang yg dijual

Berbeda dengan mereka yang ngelapak, para pemilik kios biasanya lebih pintar dan tahu akan nilai barang yang dijualnya. Itu yang membuat barang-barang di kiosnya jadi lebih mahal harganya Barang seperti jam beker atau jam saku, harga akan berbeda antara jam buatan jerman dengan buatan jepang atau china. Tahun pembuatannya juga bisa mempengaruhi harga, tahun yang lebih kuno dengan kondisi bagus, pasti sulit untuk ditawar.

Begitu juga untuk buku bacaan Kho Ping Ho, Winnetou-nya Karl May kalau masih komplit dan serinya yang nggak ada di toko buku saat ini pasti mahal. Komik Trigan, komik silat karangan Teguh & Yan Mintaraga juga harganya lebih mahal dibanding komik lainnya. Koleksi yang seperti ini juga susah didapat, belum tentu setiap kali ke sana bisa ketemu. Makanya kalau pas ada, asal harganya masuk akal biasanya saya beli.

Pelajaran yang bisa dipetik, kalau kita jualan apapun, kita mesti tahu positioning produk kita, serta positioning para competitor. Setidaknya kita juga harus bisa menjelaskan apa kelebihan barang kita dibanding milik competitor kita. Bagaimana harga kita dibanding competitor, dan masih banyak lagi. Jadi secara sadar saya pribadi harus lebih banyak belajar lagi di jagad bisnis yang saya tekuni saat ini.

Begitulah cerita hobi saya sebagai pemulung, mudah-mudahan nggak ada yang menirunya, hehehe… Sebenarnya masih banyak yang kepingin disharing di sini tapi mengingat keterbatasan ruang & waktu milik saya, lain kali akan saya lanjutkan.

1 comment:

  1. pasar loak yang bapk ceritakan dia tas, lokasinya dimana? jadi pengen liat liat ke pasar loak juga.

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan pesan Anda.