Sepeda adalah alat transportasi kita saat masih duduk di bangku SD. Ke mana pun pergi, pokoknya asal keluar dari rumah, pasti kita bawa sepeda. Jaman itu memang belum ada yang diperbolehkan untuk naik sepeda motor. Walaupun banyak di antara temen-temen yang di rumahnya sudah ada sepeda motor. Yang paling sering kita bermain sepeda adalah mengelilingi komplek perumahan PG Soedhono yang memang asyik untuk bermain sepeda. Selain banyak pohon yang rindang, jalanannya pun juga beraspal mulus dan terawat. Malahan sering kita gunakan untuk ajang adu balap.
Biasanya kalau masa liburan datang, dan bosan dengan suasana di komplek, kita selalu punya ide baru untuk bersepeda keluar komplek ke desa-desa yang ada di luar kompleks sambil menikmati suasana pedesaan lengkap dengan pemandangan sawahnya. Nanti kalau kelelahan terus mampir beli dawet atau es cendol di warung di pinggir sawah. Wuah asyiik banget lho. [yang begini nggak mungkin terulang lagi]
Pernah juga kita ramai-ramai bersepeda ke PG Poerwodadi yang jaraknya sekitar 6 km dari komplek kita. Biasanya pas pulangnya kita lemes dan kelelahan.Malahan kita juga pernah bersepeda ke PG Rejosarie, padahal jaraknya dari rumah kita sekitar 14 km. Lebih konyol lagi pulangnya kita lewat kota Magetan yang jaraknya dari rumah kita bisa sekitar 25 km-an. Bukan main. Padahal kita semua masih duduk di bangku SD lho. Entahlah waktu itu kok kayaknya kita semangat aja main sepeda sejauh itu. Padahal yang udah-udah hasilnya cuma kecapaian. Terus terang kalau sekarang disuruh mengulangi kayaknya nggak sanggup lah. Jangankan naik sepeda, naik sepeda motor juga ogah.
Mungkin semangat pantang menyerah yang memang sudah terlatih sejak kecil ini yang membuat saya dan teman-teman kecil saya di hari tuanya juga nggak gampang nyerah dengan keadaan. Kita semua ternyata bisa survive dan bisa hidup layak saat ini, meskipun jaman semakin susah. Persoalannya adalah bagaimana menularkan semangat pantang menyerah ini ke putra-putri kita yang notabene adalah anak metropolitan yang biasa hidup enak, dan nggak pernah mengalami jaman susah seperti orang tuanya.
blog ini hanyalah wadah 'curhat' & sharing seorang endro wm sayidno berkaitan dengan Madiun, Surabaya, Jatim, kewirausahaan, pengembangan diri, hobi, koleksi, keluarga, perkawanan, pendidikan, pekerjaan, peluang usaha, trend masa kini, dsb.
Tuesday, September 26, 2006
Desir Cemara PG Soedhono
Hampir seluruh masa kecil dan remajaku habis di perumahan PG Soedhono, Madiun. Tak heran kalau sampai saat ini suasana rumah & kompleks tsb. masih sering terkenang saat ngelamun dan terbawa dalam mimpiku. Apalagi kedua orang tuaku meninggal di rumah yang ada di kompleks itu juga. Boleh dibilang PG Soedhono adalah bagian dari sejarah hidupku.
Saat aku masih kuliah di Surabaya dan awal-awal tinggal di Jakarta, kerinduan akan bernostalgia dengan PG Soedhono masih sering terobati. Karena hampir setahun sekali aku masih dapat berkunjung ke sana ke rumah mas Mulyadi & mbak Mien yang pernah lama menjadi Administrateur PG Soedhono. Namun, sejak mereka pindah ke Surabaya, aku sudah tidak lagi bisa mampir & bernostalgia di komp. PG Soedhono tsb. Barangkali liburan Lebaran tahun 2006, kalau ada rejeki & umur bisa pulang ke Blitar & Madiun aku akan mampir dan melihat-lihat seperti apa PG Soedhono saat ini.
Entah apa yang membuat aku selalu terkenang, tapi bila mengenang selintas masa kecilku sewaktu tinggal di komplek ini yang keluar pertama dalam ingatan adalah suara desir cemara terkena angin. Memang komplek ini di pinggir jalannya dikelilingi dengan pohon cemara yang tinggi. Sehingga kalau malam terkena tiupan angin suaranya betul-betul berdesis bagaikan simponi alam tersendiri. Sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Yang jelas sewaktu kita masih tinggal di situ, suara pohon cemara terkena tiupan angina ini bisa menjadi terapi tersendiri bagi kita-kita yang doyan begadang pada waktu itu.
Yang juga nggak mungkin dilupakan adalah bunyi sirene tanda pergantian shift pekerja pada saat musim giling. Bunyi sirene atau pluit ini begitu keras dan dapat didengar hingga sejauh 3 km, karena memang ditujukan untuk para pegawai yang tinggalnya di sekitar lingkungan pabrik gula bahwa tiba saatnya pergantian jam kerja. Sirene biasanya dibunyikan pk. 5.00, 13.30, dan 22.00. Kalau pagi bunyi sirene juga bisa jadi jam bagi kita untuk bangun dan bersiap pergi sekolah, karena jam 6.00 bis sekolah sudah berangkat. Sirene jam 13.30, biasanya jadi tanda buat kita [yang kalau siang sepulang sekolah suka kelayapan] untuk mulai keluar dari rumah masing-masing dan ngumpul di tempat biasa kita main bersama. Terus dilanjut dengan main bola, nongkrong di tenesban, sepedahan, nongkrong di tukang rujak, dsb. Sedangkan sirene pk. 22.00, sewaktu kita sudah SMA juga jadi tanda mau terus ‘ngalong’ begadang atau pulang tidur. Tapi yang sering kalau malem minggu kita melek sampai pagi.
Selain dua hal di atas, kereta uap dengan lori tebunya juga menjadi kenangan yang tak terlupakan. Bagaimana suara kereta uap tsb. berusaha menarik rangkaian lori yang memuat tebu meruapakan pemandangan sehari-hari di PG Soedhono di musim giling. Waktu kecil kalau pas rangkaian lori tebui ini datang dan antri hendak ditimbang, itulah saat terbaik buat kita-kita untuk mencari tebu yang masih fresh. Tebu yang baru ditebang memang kadar gulanya masih sangat tinggi. Dikupasnya juga masih mudah, dan begitu kita gigit, kress langsung terasa manis & segarnya. [kapan bisa jadi kecil lagi dan mengulangi kejadian ini].
Yang juga menjadi pemandangan khas di saat musim giling di PG Soedhono adalah debu hitam buangan dari cerobong asap pabrik. Hampir seluruh komplek termasuk perumahannya dihitamkan oleh debu ini. Karena debu yang keluar dari cerobong asap begitu terkena angina akan menyebar merata ke seluruh wilayah pabrik hingga radius 3 km, tergantung dengan arah angin bertiup. Tak heran bila kita main bola atau tennis seluruh tubuh kita jadi hitam semua. Tapi ya beginilah, justru ini yang menjadi kenangan yang tak terlupakan sampai tua nanti.
Saat aku masih kuliah di Surabaya dan awal-awal tinggal di Jakarta, kerinduan akan bernostalgia dengan PG Soedhono masih sering terobati. Karena hampir setahun sekali aku masih dapat berkunjung ke sana ke rumah mas Mulyadi & mbak Mien yang pernah lama menjadi Administrateur PG Soedhono. Namun, sejak mereka pindah ke Surabaya, aku sudah tidak lagi bisa mampir & bernostalgia di komp. PG Soedhono tsb. Barangkali liburan Lebaran tahun 2006, kalau ada rejeki & umur bisa pulang ke Blitar & Madiun aku akan mampir dan melihat-lihat seperti apa PG Soedhono saat ini.
Entah apa yang membuat aku selalu terkenang, tapi bila mengenang selintas masa kecilku sewaktu tinggal di komplek ini yang keluar pertama dalam ingatan adalah suara desir cemara terkena angin. Memang komplek ini di pinggir jalannya dikelilingi dengan pohon cemara yang tinggi. Sehingga kalau malam terkena tiupan angin suaranya betul-betul berdesis bagaikan simponi alam tersendiri. Sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Yang jelas sewaktu kita masih tinggal di situ, suara pohon cemara terkena tiupan angina ini bisa menjadi terapi tersendiri bagi kita-kita yang doyan begadang pada waktu itu.
Yang juga nggak mungkin dilupakan adalah bunyi sirene tanda pergantian shift pekerja pada saat musim giling. Bunyi sirene atau pluit ini begitu keras dan dapat didengar hingga sejauh 3 km, karena memang ditujukan untuk para pegawai yang tinggalnya di sekitar lingkungan pabrik gula bahwa tiba saatnya pergantian jam kerja. Sirene biasanya dibunyikan pk. 5.00, 13.30, dan 22.00. Kalau pagi bunyi sirene juga bisa jadi jam bagi kita untuk bangun dan bersiap pergi sekolah, karena jam 6.00 bis sekolah sudah berangkat. Sirene jam 13.30, biasanya jadi tanda buat kita [yang kalau siang sepulang sekolah suka kelayapan] untuk mulai keluar dari rumah masing-masing dan ngumpul di tempat biasa kita main bersama. Terus dilanjut dengan main bola, nongkrong di tenesban, sepedahan, nongkrong di tukang rujak, dsb. Sedangkan sirene pk. 22.00, sewaktu kita sudah SMA juga jadi tanda mau terus ‘ngalong’ begadang atau pulang tidur. Tapi yang sering kalau malem minggu kita melek sampai pagi.
Selain dua hal di atas, kereta uap dengan lori tebunya juga menjadi kenangan yang tak terlupakan. Bagaimana suara kereta uap tsb. berusaha menarik rangkaian lori yang memuat tebu meruapakan pemandangan sehari-hari di PG Soedhono di musim giling. Waktu kecil kalau pas rangkaian lori tebui ini datang dan antri hendak ditimbang, itulah saat terbaik buat kita-kita untuk mencari tebu yang masih fresh. Tebu yang baru ditebang memang kadar gulanya masih sangat tinggi. Dikupasnya juga masih mudah, dan begitu kita gigit, kress langsung terasa manis & segarnya. [kapan bisa jadi kecil lagi dan mengulangi kejadian ini].
Yang juga menjadi pemandangan khas di saat musim giling di PG Soedhono adalah debu hitam buangan dari cerobong asap pabrik. Hampir seluruh komplek termasuk perumahannya dihitamkan oleh debu ini. Karena debu yang keluar dari cerobong asap begitu terkena angina akan menyebar merata ke seluruh wilayah pabrik hingga radius 3 km, tergantung dengan arah angin bertiup. Tak heran bila kita main bola atau tennis seluruh tubuh kita jadi hitam semua. Tapi ya beginilah, justru ini yang menjadi kenangan yang tak terlupakan sampai tua nanti.
Friday, September 22, 2006
I like Friday & I hate Monday
Apa sih bedanya hari Jumat dan hari Senin? Kalau buat kita-kita yang masih berstatus karyawan dan hari Sabtunya libur jelas feel-nya atau ‘rasa di hati’ antara Jumat dan Senin sangat berbeda. [Kalau jaman kita masih sekolah dulu kayaknya yang paling oke cuma hari Sabtu ya].
Di hari Jumat, mulai bangun pagi kita sudah merasa nyaman dan tenang, karena membayangkan hari terakhir kerja di minggu ini. Perasaan kita sepertinya lepas dan nggak ada beban sambil membayangkan besok kita bisa terlepas dari rutinitas kerja yang membebani setiap hari. [beginilah nasib karyawan, makanya buruan punya usaha sendiri dan sukses]. Usai sholat Jumat, rasa senang di hati [karena besok libur] kian menguat. Terus membayangkan berbagai hal yang bisa dikerjakan di hari Sabtu & Minggu. Bisa main sama anak-anak, males-malesan, olah raga, jalan-jalan sama keluarga, dsb. Pokoknya, I like Monday lah!
Kebalikannya, di hari Minggu malam, setelah kita puas dengan kegiatan week end, tiba-tiba kita disadarkan bahwa esok hari ‘rutinitas dan beban kerja’ telah menunggu dengan segala permasalahannya selama 5 hari ke depan. Kita merasa bagaikan hendak memasuki ‘penjara’ yang namanya ‘rutinitas kerja’. Bayangin, nyebelin nggak sih usai bangun pagi, nganter sekolah anak-anak terus berangkat ke kantor lantas ketemu dengan yang namanya kesemrawutan & kemacetan jalanan ibukota. Nyampe kantor mesti mikirin kerjaan apa saja yang mesti diberesin hari Senin, Selasa, dst. Belum lagi kerjaan yang nggak pernah ada habisnya. Sampai nanti hari Jumat lagi. Jadinya, ya I hate Monday!
Btw, kalau dipikirin terus yang namanya rutinitas memang bikin terasa hidup kita ‘kurang berkualitas’. Makanya, lebih baik kita mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT, bahwa hingga saat ini kita masih diberi nikmat sehat, rejeki yang cukup sehingga masih dapat mengarungi dinamika kehidupan ini. Think positive lah! Bagaimana pun kita menyikapinya yang namanya kehidupan akan terus mengalir. Lebih baik kita memandang dan menghadapi kehidupan ini dengan energy positive.
Di hari Jumat, mulai bangun pagi kita sudah merasa nyaman dan tenang, karena membayangkan hari terakhir kerja di minggu ini. Perasaan kita sepertinya lepas dan nggak ada beban sambil membayangkan besok kita bisa terlepas dari rutinitas kerja yang membebani setiap hari. [beginilah nasib karyawan, makanya buruan punya usaha sendiri dan sukses]. Usai sholat Jumat, rasa senang di hati [karena besok libur] kian menguat. Terus membayangkan berbagai hal yang bisa dikerjakan di hari Sabtu & Minggu. Bisa main sama anak-anak, males-malesan, olah raga, jalan-jalan sama keluarga, dsb. Pokoknya, I like Monday lah!
Kebalikannya, di hari Minggu malam, setelah kita puas dengan kegiatan week end, tiba-tiba kita disadarkan bahwa esok hari ‘rutinitas dan beban kerja’ telah menunggu dengan segala permasalahannya selama 5 hari ke depan. Kita merasa bagaikan hendak memasuki ‘penjara’ yang namanya ‘rutinitas kerja’. Bayangin, nyebelin nggak sih usai bangun pagi, nganter sekolah anak-anak terus berangkat ke kantor lantas ketemu dengan yang namanya kesemrawutan & kemacetan jalanan ibukota. Nyampe kantor mesti mikirin kerjaan apa saja yang mesti diberesin hari Senin, Selasa, dst. Belum lagi kerjaan yang nggak pernah ada habisnya. Sampai nanti hari Jumat lagi. Jadinya, ya I hate Monday!
Btw, kalau dipikirin terus yang namanya rutinitas memang bikin terasa hidup kita ‘kurang berkualitas’. Makanya, lebih baik kita mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT, bahwa hingga saat ini kita masih diberi nikmat sehat, rejeki yang cukup sehingga masih dapat mengarungi dinamika kehidupan ini. Think positive lah! Bagaimana pun kita menyikapinya yang namanya kehidupan akan terus mengalir. Lebih baik kita memandang dan menghadapi kehidupan ini dengan energy positive.
Thursday, September 21, 2006
Akhir-akhir ini Jakarta macet banget
Temans, hidup di Jakarta yang bebannya sudah ‘sangat berat’ akhir-akhir ini menjadi bertambah berat lagi. Kalau biasanya untuk pergi ke kantor butuh waktu 1,5 jam, kini butuh waktu paling cepet 2,5 jam. Begitu juga pulangnya. Kebayang nggak gimana stressnya bermacet ria di jalanan ibukota yang semrawutnya ‘ruaarr biasa’. Rasanya kok jadi tua di jalan. Ini semua cuma gara-gara dibangunnya beberapa jalur busway dan monorail yang tak kunjung selesai.
Yang heran, jalan tikus yang biasanya mampu menyelamatkan kita bila terhadang kemacetan justru sekarang malah mampet. Kalau dipikirin kayaknya jumlah kendaraan bermotor di Jakarta dengan panjang jalannya memang sudah tidak sebanding lagi. Setiap ada persimpangan lampu merah, pasti antriannya bisa sampai 700 m-an. Angkutan umum yang berhenti seenaknya, sepeda motor yang jumlahnya juga bertambah banyak juga menambah parah kondisi macetnya jalan-jalan di Jakarta. Yang namanya jalan tol bebas hambatan juga sami mawon, mau jam sibuk ataupun bukan jam sibuk kondisinya selalu padat merayap.
Kondisi ini sama persis seperti Bangkok 5 tahun yang lalu. Sampai-sampai ada mobil yang menyediakan pispot untuk pipis di mobil, kalau terjebak macet yang berkepanjangan. Namun berkat usaha keras mereka membangun underpass, jembatan laying, fasilitas MRT dan monorail, Bangkok sekarang (setahun terakhir) relative terbebas dari kemacetan. Karena masyarakat Bangkok akhirnya mau beralih dari kendaraan pribadi ke MRT & monorail yang nyaman dan aman. Saat ini, kondisi antrian di lampu lalu lintas paling-paling hanya sekitar 200 m –an, itupun di saat jam sibuk.
Rupanya pemerintah DKI Jakarta terinspirasi dengan keberhasilan Bangkok tetapi dikombinasi dengan keberhasilan Bogota dengan Buswaynya. Makanya mengejar target tahun 2007 proyek monorail dan busway mesti kelar. Mungkinkah masyarakat Jakarta yang biasa enak naik kendaraan pribadi mau pindah ke busway & monorail? Entahlah, kita lihat saja nanti. Yang jelas, seminggu yang lalu saya pernah dari daerah Kemang mau ke Pusat Grosir Tanah Abang (waktu itu macet banget) akhirnya mobil saya parkir di Pasaraya Blok M, lalu pindah nyobain naik busway turun Sarinah Thamrin.
Kesan pertama saya, busway nyaman banget, AC dingin, interior bersih, yang naik juga bersih-bersih, dan cepat sampai (blok M ke Sarinah cuma ½ jam bayangin kalau nyetir sendiri). Dalam benak saya, nantinya kalau jalur busway & monorail siap boleh juga dicoba memanfaatkannya sebagai transportasi murah dan cepat. Persoalannya, mungkinkah di tahun-tahun ke depan nanti kenyamanan busway bisa bertahan seperti sekarang? Karena biasanya di Jakarta yang namanya fasilitas umum itu tidak pernah bertahan lama. Selalu rusak & tak terawat dengan baik.
BTW, salut juga sama gubernur Sutiyoso yang berani melawan arus & tidak popular dengan ide buswaynya. Kita tunggu hasilnya. Saat ini masyarakat Jakarta harus mau berkorban bermacet ria di jalan demi masa depan yang bakalan nyaman. Bukankah untuk mendapatkan kenikmatan kita harus berkorban terlebih dahulu.
Yang heran, jalan tikus yang biasanya mampu menyelamatkan kita bila terhadang kemacetan justru sekarang malah mampet. Kalau dipikirin kayaknya jumlah kendaraan bermotor di Jakarta dengan panjang jalannya memang sudah tidak sebanding lagi. Setiap ada persimpangan lampu merah, pasti antriannya bisa sampai 700 m-an. Angkutan umum yang berhenti seenaknya, sepeda motor yang jumlahnya juga bertambah banyak juga menambah parah kondisi macetnya jalan-jalan di Jakarta. Yang namanya jalan tol bebas hambatan juga sami mawon, mau jam sibuk ataupun bukan jam sibuk kondisinya selalu padat merayap.
Kondisi ini sama persis seperti Bangkok 5 tahun yang lalu. Sampai-sampai ada mobil yang menyediakan pispot untuk pipis di mobil, kalau terjebak macet yang berkepanjangan. Namun berkat usaha keras mereka membangun underpass, jembatan laying, fasilitas MRT dan monorail, Bangkok sekarang (setahun terakhir) relative terbebas dari kemacetan. Karena masyarakat Bangkok akhirnya mau beralih dari kendaraan pribadi ke MRT & monorail yang nyaman dan aman. Saat ini, kondisi antrian di lampu lalu lintas paling-paling hanya sekitar 200 m –an, itupun di saat jam sibuk.
Rupanya pemerintah DKI Jakarta terinspirasi dengan keberhasilan Bangkok tetapi dikombinasi dengan keberhasilan Bogota dengan Buswaynya. Makanya mengejar target tahun 2007 proyek monorail dan busway mesti kelar. Mungkinkah masyarakat Jakarta yang biasa enak naik kendaraan pribadi mau pindah ke busway & monorail? Entahlah, kita lihat saja nanti. Yang jelas, seminggu yang lalu saya pernah dari daerah Kemang mau ke Pusat Grosir Tanah Abang (waktu itu macet banget) akhirnya mobil saya parkir di Pasaraya Blok M, lalu pindah nyobain naik busway turun Sarinah Thamrin.
Kesan pertama saya, busway nyaman banget, AC dingin, interior bersih, yang naik juga bersih-bersih, dan cepat sampai (blok M ke Sarinah cuma ½ jam bayangin kalau nyetir sendiri). Dalam benak saya, nantinya kalau jalur busway & monorail siap boleh juga dicoba memanfaatkannya sebagai transportasi murah dan cepat. Persoalannya, mungkinkah di tahun-tahun ke depan nanti kenyamanan busway bisa bertahan seperti sekarang? Karena biasanya di Jakarta yang namanya fasilitas umum itu tidak pernah bertahan lama. Selalu rusak & tak terawat dengan baik.
BTW, salut juga sama gubernur Sutiyoso yang berani melawan arus & tidak popular dengan ide buswaynya. Kita tunggu hasilnya. Saat ini masyarakat Jakarta harus mau berkorban bermacet ria di jalan demi masa depan yang bakalan nyaman. Bukankah untuk mendapatkan kenikmatan kita harus berkorban terlebih dahulu.
Subscribe to:
Posts (Atom)