Hampir seluruh masa kecil dan remajaku habis di perumahan PG Soedhono, Madiun. Tak heran kalau sampai saat ini suasana rumah & kompleks tsb. masih sering terkenang saat ngelamun dan terbawa dalam mimpiku. Apalagi kedua orang tuaku meninggal di rumah yang ada di kompleks itu juga. Boleh dibilang PG Soedhono adalah bagian dari sejarah hidupku.
Saat aku masih kuliah di Surabaya dan awal-awal tinggal di Jakarta, kerinduan akan bernostalgia dengan PG Soedhono masih sering terobati. Karena hampir setahun sekali aku masih dapat berkunjung ke sana ke rumah mas Mulyadi & mbak Mien yang pernah lama menjadi Administrateur PG Soedhono. Namun, sejak mereka pindah ke Surabaya, aku sudah tidak lagi bisa mampir & bernostalgia di komp. PG Soedhono tsb. Barangkali liburan Lebaran tahun 2006, kalau ada rejeki & umur bisa pulang ke Blitar & Madiun aku akan mampir dan melihat-lihat seperti apa PG Soedhono saat ini.
Entah apa yang membuat aku selalu terkenang, tapi bila mengenang selintas masa kecilku sewaktu tinggal di komplek ini yang keluar pertama dalam ingatan adalah suara desir cemara terkena angin. Memang komplek ini di pinggir jalannya dikelilingi dengan pohon cemara yang tinggi. Sehingga kalau malam terkena tiupan angin suaranya betul-betul berdesis bagaikan simponi alam tersendiri. Sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Yang jelas sewaktu kita masih tinggal di situ, suara pohon cemara terkena tiupan angina ini bisa menjadi terapi tersendiri bagi kita-kita yang doyan begadang pada waktu itu.
Yang juga nggak mungkin dilupakan adalah bunyi sirene tanda pergantian shift pekerja pada saat musim giling. Bunyi sirene atau pluit ini begitu keras dan dapat didengar hingga sejauh 3 km, karena memang ditujukan untuk para pegawai yang tinggalnya di sekitar lingkungan pabrik gula bahwa tiba saatnya pergantian jam kerja. Sirene biasanya dibunyikan pk. 5.00, 13.30, dan 22.00. Kalau pagi bunyi sirene juga bisa jadi jam bagi kita untuk bangun dan bersiap pergi sekolah, karena jam 6.00 bis sekolah sudah berangkat. Sirene jam 13.30, biasanya jadi tanda buat kita [yang kalau siang sepulang sekolah suka kelayapan] untuk mulai keluar dari rumah masing-masing dan ngumpul di tempat biasa kita main bersama. Terus dilanjut dengan main bola, nongkrong di tenesban, sepedahan, nongkrong di tukang rujak, dsb. Sedangkan sirene pk. 22.00, sewaktu kita sudah SMA juga jadi tanda mau terus ‘ngalong’ begadang atau pulang tidur. Tapi yang sering kalau malem minggu kita melek sampai pagi.
Selain dua hal di atas, kereta uap dengan lori tebunya juga menjadi kenangan yang tak terlupakan. Bagaimana suara kereta uap tsb. berusaha menarik rangkaian lori yang memuat tebu meruapakan pemandangan sehari-hari di PG Soedhono di musim giling. Waktu kecil kalau pas rangkaian lori tebui ini datang dan antri hendak ditimbang, itulah saat terbaik buat kita-kita untuk mencari tebu yang masih fresh. Tebu yang baru ditebang memang kadar gulanya masih sangat tinggi. Dikupasnya juga masih mudah, dan begitu kita gigit, kress langsung terasa manis & segarnya. [kapan bisa jadi kecil lagi dan mengulangi kejadian ini].
Yang juga menjadi pemandangan khas di saat musim giling di PG Soedhono adalah debu hitam buangan dari cerobong asap pabrik. Hampir seluruh komplek termasuk perumahannya dihitamkan oleh debu ini. Karena debu yang keluar dari cerobong asap begitu terkena angina akan menyebar merata ke seluruh wilayah pabrik hingga radius 3 km, tergantung dengan arah angin bertiup. Tak heran bila kita main bola atau tennis seluruh tubuh kita jadi hitam semua. Tapi ya beginilah, justru ini yang menjadi kenangan yang tak terlupakan sampai tua nanti.
0 komentar:
Post a Comment
Silakan tinggalkan pesan Anda.